“Itu kerjanya berat, tapi militansinya kelas ‘A’. Inilah yang kemudian karena dianggap kelas bawah. Para petinggi kita, priyayi kita, yang pernah dilewati Jepang, manggilnya kalau ke kawan-kawan orang bawah, disebutlah ‘Korea-Korea’,” jelasnya.
“Itu karungnya disuruh nurunin, Korea-Korea itu disuruh nurunin karung dari truk, seperti itu. Jadi pasukan kelas bawah. Understand?” ujar Bambang Pacul.
Ironisnya, filosofi yang ia populerkan ini kini seolah menjadi bumerang. Sebagai komandan, ia gagal menggerakkan "pasukan Korea"-nya untuk memenangkan pertempuran di wilayahnya sendiri.
Kekalahan di kandang banteng menunjukkan adanya masalah serius dalam rantai komando, di mana sang jenderal tidak mampu memaksimalkan militansi pasukan di akar rumput.
Pencopotannya dari kursi Ketua DPD PDIP Jateng menjadi bukti bahwa dalam politik, sehebat apa pun filosofi seorang komandan, hasil di medan perang adalah satu-satunya yang dihitung.