Suara.com - Di tengah sorotan publik pada momen tangis Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer yang mengenakan rompi oranye KPK, ada cerita yang jauh lebih besar dan menyakitkan.
Sebuah sistem korupsi yang diduga telah memeras keringat para pekerja dan pengusaha hingga Rp81 miliar.
Kasus ini bukan hanya tentang satu pejabat yang jatuh. Ini adalah potret buram tentang bagaimana keselamatan dan kesehatan para pekerja (K3) dijadikan komoditas pemerasan oleh oknum-oknum di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Immanuel Ebenezer, yang diduga menerima aliran dana Rp3 miliar, hanyalah puncak dari gunung es kejahatan sistematis yang korbannya adalah buruh di seluruh Indonesia.
Skema Pelicin yang Menjerat Pekerja dan Pengusaha
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar modus operandi yang sangat merugikan. Sertifikat K3, dokumen vital yang seharusnya menjadi jaminan perlindungan bagi pekerja, justru dijadikan alat untuk memeras.
Bayangkan Anda seorang pekerja atau manajer HRD yang membutuhkan sertifikat ini. Jalur resmi seharusnya mudah dan murah, namun yang terjadi di lapangan adalah sebuah labirin birokrasi yang sengaja diciptakan.
![Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer (kedua kanan) berjalan menuju mobil tahanan usai dihadirkan sebagai tersangka saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (22/8/2025). [ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/22/22738-immanuel-ebenezer-ditahan-kpk-immanuel-ebenezer-wamenaker-noel.jpg)
Biaya Resmi vs Realita Pahit
Biaya resmi pengurusan sertifikat K3 ditetapkan hanya Rp275.000 per orang. Namun, dalam praktik lancung ini, para pemohon dipaksa merogoh kocek hingga Rp6.000.000—lebih dari 20 kali lipat.
Baca Juga: Viral Momen Immanuel Ebenezer Nangis di KPK: Waktu Jadi Pejabat Gayanya Selangit
Ancaman Perlambatan
Jika menolak membayar "uang pelicin", proses pengajuan sertifikat akan sengaja diperlambat, dipersulit, bahkan diabaikan. Ini menciptakan tekanan luar biasa, terutama bagi perusahaan yang terikat tenggat waktu proyek.
Total Kerugian Fantastis
Praktik ini diduga telah berjalan mulus sejak 2019, mengumpulkan pundi-pundi haram yang totalnya diperkirakan mencapai Rp81 miliar.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menegaskan betapa mencekiknya pungutan liar ini. "Biaya pemerasan sebesar Rp6 juta bisa mencapai dua kali lipat Upah Minimum Regional (UMR) mereka," ujarnya, menyoroti betapa tidak manusiawinya praktik ini bagi para pekerja dengan upah pas-pasan.
![Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer (kedua kanan) bersama tersangka lainnya saat dihadirkan sebagai tersangka usai terjaring OTT KPK pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (22/8/2025). [ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/22/51595-immanuel-ebenezer-ditahan-kpk-immanuel-ebenezer-wamenaker-noel.jpg)
Keselamatan Dipertaruhkan, Produktivitas Terancam
Dampak dari korupsi ini jauh melampaui kerugian finansial. Ketika sertifikasi K3 dijadikan ajang bisnis, esensi utamanya—yaitu perlindungan nyawa manusia terabaikan.
Bagi perusahaan, terutama skala kecil dan menengah, dilemanya sangat berat. Membayar pungli akan menggerogoti anggaran operasional, namun tidak membayar berarti menunda proyek dan menghadapi risiko hukum.
Lebih parah lagi, kondisi ini membuka celah bagi pekerja untuk beroperasi di lingkungan berisiko tinggi tanpa pelatihan dan sertifikasi yang memadai.
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan adalah nyawa. Setiap rupiah yang masuk ke kantong koruptor adalah rupiah yang seharusnya digunakan untuk memastikan seorang ayah atau ibu bisa pulang dengan selamat ke rumah setelah bekerja.
Lingkaran Setan Birokrasi: Kenapa Pungli K3 Bisa Terjadi?
![Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer (ketiga kanan) bersama tersangka lainnya berjalan menuju ruang konferensi pers usai terjaring OTT KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (22/8/2025). [ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/22/60991-immanuel-ebenezer-ditahan-kpk-immanuel-ebenezer-wamenaker-noel.jpg)
Kasus ini adalah cermin dari penyakit kronis birokrasi di Indonesia lemahnya pengawasan dan celah kewenangan yang disalahgunakan.
Praktik yang sudah berjalan bertahun-tahun ini menunjukkan adanya "kerajaan kecil" di dalam kementerian yang kebal hukum.
Beberapa faktor yang memungkinkan sistem korup ini berjalan:
- Kurangnya Transparansi: Proses pengajuan yang tidak transparan memungkinkan oknum "bermain" di belakang layar.
- Sentralisasi Kewenangan: Penumpukan wewenang pada segelintir pejabat menciptakan titik-titik rawan pemerasan.
Pengawasan Internal yang Gagal: Mekanisme pengawasan internal di Kemnaker jelas gagal mendeteksi atau menghentikan praktik ilegal yang sudah berlangsung lama ini.