Suara.com - Penangkapan ratusan pengunjuk rasa dalam aksi 25 Agustus lalu kini berbuntut panjang. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) melontarkan kritik keras kepada Polda Metro Jaya telah melakukan penangkapan sewenang-wenang berkedok pengamanan dan pendataan.
Tak hanya itu, mereka juga membongkar adanya serangkaian dugaan pelanggaran HAM, mulai dari menghalangi bantuan hukum hingga praktik penyiksaan terhadap demonstran yang terluka.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, yang tergabung dalam TAUD, menolak istilah pengamanan yang digunakan polisi. Menurutnya, itu hanyalah kamuflase untuk menutupi praktik ilegal.
"Proses hukum yang berjalan di Polda Metro Jaya yang diklaim sebagai 'pengamanan' dan 'pendataan' justru merupakan tindakan tidak berdasar hukum dan kami nilai hanya menjadi kamuflase dari praktik penangkapan sewenang-wenang," kata Arif dalam keterangannya kepada Suara.com, Kamis (28/8/2025).
Ia menegaskan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengenal istilah 'diamankan', melainkan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan.
Demonstran Luka-luka Dipaksa Diperiksa
Selain itu, yang lebih parah dari tindakan aparat kepolisian adalah adanya praktik penyiksaan (torture). TAUD menemukan adanya pemeriksaan yang tetap dipaksakan terhadap para pengunjuk rasa yang sedang dalam kondisi luka-luka.
Menurut Arif, tindakan ini sangat tidak manusiawi dan bisa mempengaruhi hasil pemeriksaan, karena membuat orang yang diperiksa cenderung mengiyakan semua pertanyaan penyidik.
TAUD memandang tindakan ini sebagai pelanggaran terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Baca Juga: Keos! Asap Hitam Kepung DPR, Mahasiswa Bakar Ban-Lempar Botol, Polisi Balas Tembakan Water Cannon
Pelanggaran lain yang disorot adalah upaya penghalangan akses bantuan hukum. Menurut Arif, para pengacara dan keluarga, terutama dari massa aksi yang masih anak-anak, kesulitan untuk bertemu dengan mereka yang ditahan.
"Dan akses orang tua atau keluarga terhadap massa aksi yang sebagian besar merupakan anak-anak yang ditangkap serta ditahan sewenang-wenang oleh kepolisian," kata Arif.
Tindakan ini, tegasnya, adalah pelanggaran serius terhadap KUHAP dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
TAUD juga tidak melupakan adanya dugaan kekerasan yang dialami oleh para jurnalis saat meliput aksi. Mereka mengingatkan bahwa kerja-kerja pers dilindungi oleh konstitusi dan UU Pers.
Pada akhirnya, TAUD menyimpulkan bahwa seluruh rangkaian represi ini adalah bentuk penyempitan ruang sipil yang dilakukan secara aktif maupun melalui pembiaran oleh negara.
"Ini merupakan bentuk penyempitan ruang sipil dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan secara aktif maupun melalui pembiaran oleh negara," tegas Arif.