suara hijau

Indonesia Target 100 GW Energi Surya: Apa Artinya bagi Ekonomi dan Keadilan Iklim?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Jum'at, 12 September 2025 | 12:48 WIB
Indonesia Target 100 GW Energi Surya: Apa Artinya bagi Ekonomi dan Keadilan Iklim?
Ilustrasi pemanfaatan energi surya. (pixabay/fietzfotos)

Suara.com - Indonesia tengah berpacu dengan waktu untuk memenuhi target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.

Namun, tantangan transisi energi bukan hanya soal teknologi, melainkan juga soal keadilan. Bagaimana memastikan masyarakat di seluruh pelosok negeri tidak hanya menjadi pengguna, tapi juga bagian dari solusi?

Pertanyaan ini mengemuka dalam Indonesia Solar Summit (ISS) 2025 di Jakarta, yang mengangkat tema “Solarizing Indonesia: Powering Equity, Economy, and Climate Action”.

Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di lahan bekas tambang (Tom Fisk/Pexels)
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di lahan bekas tambang (Tom Fisk/Pexels)

Energi surya kini dipandang bukan sekadar sumber listrik, melainkan pintu masuk menuju ekonomi hijau. Pemerintah menargetkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mencapai 108,7 GW pada 2060.

Bahkan Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan komitmen untuk membangun 100 GW PLTS, dengan 80 GW tersebar di berbagai wilayah dan 20 GW dalam bentuk terpusat. Di tengah krisis iklim dan ketergantungan pada energi fosil, langkah ini dianggap revolusioner.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Eniya Listiani Dewi,  menekankan pentingnya PLTS bukan hanya di sektor kelistrikan, tapi juga dalam aktivitas produktif masyarakat: dari irigasi pertanian, pariwisata, hingga layanan kesehatan di desa.

“Potensi energi surya di Indonesia hampir mencapai 3.200 GW. Jika dikelola dengan baik, ia bisa menjadi motor transisi energi sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 8%,” ujarnya.

Namun, jalan menuju ekonomi surya tidak bebas hambatan. Fabby Tumiwa, CEO Institute for Essential Services Reform (IESR), menyoroti regulasi yang rumit, akses pendanaan yang terbatas, hingga infrastruktur jaringan listrik yang belum siap.

Subsidi energi fosil membuat listrik dari pembangkit konvensional tampak lebih murah, sehingga menciptakan persaingan tidak adil untuk PLTS.

Baca Juga: Revolusi Energi di Industri Perikanan: DSFI Jadi Pionir dengan PLTS Atap, Emisi Karbon Turun Drastis

“Solusinya ada pada modernisasi jaringan listrik, pembangunan smart grid, dan integrasi teknologi penyimpanan energi,” kata Fabby. Ia menambahkan, komitmen membangun 100 GW PLTS hanya akan berhasil bila melibatkan komunitas lokal: mulai dari perencanaan yang transparan, pemberdayaan tenaga kerja lokal, hingga model PLTS skala kecil yang terjangkau.

ISS 2025 juga menjadi momentum lahirnya inisiatif Solar Archipelago, sebuah komitmen kolektif dari pemerintah daerah, sektor bisnis, dan komunitas untuk menjadikan energi surya motor pemerataan energi dan keadilan iklim.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI