- August mendorong Pemprov DKI untuk mengevaluasi kembali kebijakan PKB agar lebih adil.
- Pemprov DKI memang membutuhkan penerimaan dari PKB untuk membiayai layanan publik.
- PKB sudah diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPPPD).
Suara.com - Perbandingan pajak kendaraan bermotor (PKB) antara Malaysia dan Indonesia belakangan ramai dibahas di media sosial.
Dalam unggahan akun Instagram @arie_ngetren, pajak tahunan Toyota Veloz di Malaysia disebut hanya sekitar RM100–RM120 atau Rp370 ribu–Rp444 ribu.
Sementara di Indonesia untuk mobil yang sama bisa mencapai Rp4 juta per tahun.
Begtu juga dengan kendaraan roda dua Yamaha NMAX, pajak tahunan di Malaysia sekitar Rp116 ribu, sedangkan di Indonesia Rp400 ribu–Rp700 ribu.
Perbedaan mencolok ini memicu kritik publik terhadap tingginya beban PKB di Jakarta.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, August Hamonangan, menyatakan pihaknya mendorong evaluasi aturan pajak progresif agar lebih adil bagi masyarakat.
"Kami mendorong Pemprov DKI untuk mengevaluasi kembali kebijakan PKB agar lebih adil," ujar August kepada Suara.com, Jumat (19/9/2025).
Menurutnya, DPRD bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI sedang mengevaluasi formula pajaknya.
Persoalan ini juga disebutnya pernah dibahas dalam rapat kerja Komisi C.
Baca Juga: Contoh Singapura dan Filipina, DPRD DKI Diminta Dukung Rencana IPO PAM Jaya
"Pilihannya bisa terkait pajak progresif, sedang dicari formulanya," ungkap August.
Meski demikian, August menyebut PKB sudah diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPPPD).
"Tepatnya di Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), diatur bahwa untuk daerah setingkat provinsi, tarif PKB ditetapkan Kendaraan bermotor pertama maksimal 2 persen, dan Kendaraan bermotor kedua dan seterusnya dapat dikenakan tarif progresif," ungkap August.
"Ini merupakan mandat undang-undang yang kemudian dijalankan oleh Pemerintahan Daerah melalui Perda 1 Tahun 2024," lanjutnya.
Menurut August, Pemprov DKI memang membutuhkan penerimaan dari PKB untuk membiayai layanan publik. Namun, kebijakan itu tetap harus memberi rasa adil bagi warga.
![Sejumlah kendaraan bermotor terjebak kemacetan lalu lintas di Tol Dalam Kota dan Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (19/5). [Suara.com/Angga Budhiyanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/05/19/26607-kemacetan-di-jakarta-saat-psbb.jpg)
"Namun perlu juga dipahami bahwa salah satu tujuan dari penerimaan PKB adalah untuk membiayai subsidi transportasi publik. Saat ini, Pemprov DKI menanggung subsidi sekitar Rp6 triliun untuk layanan Transjakarta, MRT, LRT, hingga mikrotrans," jelasnya.
Ia menambahkan, masyarakat Jakarta berhak mendapatkan manfaat nyata dari pungutan pajak. Pajak, kata dia, harus kembali dalam bentuk layanan publik yang lebih baik.
"Tentu penting agar penerimaan pajak diimbangi dengan peningkatan layanan publik. Masyarakat berhak merasakan manfaat nyata dari pajak yang mereka bayarkan, misalnya lewat transportasi publik yang lebih aman, nyaman, dan terintegrasi," ucapnya.
"Dengan begitu, keberatan atas beban pajak dapat diminimalisir karena warga Jakarta dapat melihat nilai balik yang jelas dari uang pajak yang dibayarkannya," tambahnya memungkasi.