-
Hentikan total ekspansi kelapa sawit, ganti dengan kelapa sebagai solusinya.
-
Pemerintah dituding "ketagihan" uang sawit dan menjadi "tuan tanah besar."
-
Dianggap sebabkan kemiskinan petani dan hancurkan keanekaragaman hayati Indonesia.
Suara.com - Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menuntut penghentian seluruh ekspansi kelapa sawit di Indonesia dan menggantinya dengan kelapa sebagai sumber utama minyak nabati nasional.
AGRA menilai pemerintah 'ketagihan' mendapatkan uang mudah dari kelapa sawit. Bahkan melebihi komoditas strategis lainnya.
Dewan Pimpinan Pusat AGRA, Rendy Perdana menyoroti keterlibatan aktif pemerintah dalam mendirikan grup perkebunan raksasa seperti Palm CO dan PT Agrinas Palma Nusantara (APN), yang secara efektif menjadikan negara sebagai “tuan tanah besar kelapa sawit.”
Menurutnya, skema perkebunan kelapa sawit skala kecil justru menjebak petani dalam lingkaran kemiskinan dan utang, karena membutuhkan minimal 5 hektar lahan hanya untuk mencapai pendapatan layak.
“Tanaman kelapa sawit tidak hanya penyebab meluasnya kemiskinan akan tetapi ambil bagian aktif memelihara kemiskinan untuk tenaga kerja murah di pedesaan,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Suara.com.
Ia juga turut menyoroti dampak ekologis yang katastropik.
Mereka menyebut perkebunan monokultur kelapa sawit jahat menjadi penghancur utama status Mega Biodiversity Indonesia telah ditanam.
Bahkan di area-area rentan seperti lereng perbukitan dan kaki pegunungan.
Kondisi ini, menurut AGRA, telah mengubah wajah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua menjadi 'Pulau Sawit Melambai'.
Baca Juga: AGRA Desak Penghentian Proyek Transmigrasi ala Orde Baru: Haruskah Membuka Hutan dan Belukar Lagi?
"Bukti empiris dan penelitian ilmiah tentang kerusakan lingkungan hidup terutama ancaman terhadap pertanian pangan lokal karena kekeringan lahan, kebakaran lahan, menguatnya individualisme, hancurnya tradisi dan lahirnya berbagai masalah sosial kronis di pedesaan."
Menurutnya, model bisnis kelapa sawit hanya menguntungkan segelintir pihak.
Hal ini disebabkan sejumlah faktor yang meiputi produksi berbasis lahan luas dengan investasi dan keahlian rendah, perputaran modal yang cepat (panen dua kali sebulan) yang menguntungkan agen industri dan lembaga pembiayaan.
"Posisi tawar petani yang lemah, di mana mereka harus menjual Tandan Buah Segar (TBS) ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik tuan tanah, tidak seperti kelapa yang bisa diolah secara mandiri."
Selain itu, harga yang ditentukan secara tripartit oleh pemerintah, pemilik lahan besar, dan perwakilan tani, hanya berdasarkan harga pasar.
Reporter : Safelia Putri