- Kades Kohod Arsin bersama tiga perangkat desa didakwa melakukan korupsi dengan modus menerbitkan 203 dokumen tanah palsu
- Siasat licik dilakukan dengan mengumpulkan KTP dan KK warga untuk dijadikan sebagai pemilik tanah fiktif
- Dari hasil penjualan lahan fiktif senilai miliaran rupiah, para terdakwa membagi-bagikan uang hasil kejahatan
Suara.com - Sebuah skandal mafia tanah dengan modus operandi luar biasa licik terbongkar di Pengadilan Negeri Serang. Kepala Desa (Kades) Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Arsin, bersama tiga perangkat desanya, didakwa menjadi otak di balik penjualan ratusan hektare lautan yang disulap menjadi daratan fiktif untuk dijual kepada pihak swasta.
Dalam sidang dakwaan yang digelar pada Selasa (30/9/2025), Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Banten, Faiq Nur Fiqri Sofa, membeberkan secara rinci siasat busuk yang dijalankan para terdakwa sejak pertengahan tahun 2022 hingga awal 2025.
Mereka dituding telah menyalahgunakan kewenangan secara sistematis untuk menerbitkan dokumen kepemilikan tanah di wilayah pesisir yang sejatinya adalah perairan laut.
Akal bulus Arsin dan komplotannya dimulai ketika ia mendekati seorang saksi dari perusahaan swasta. Dengan penuh percaya diri, sang Kades menawarkan lahan di pinggir pantai yang hanya ditandai patok-patok bambu.
“Arsin selaku Kepala Desa Kohod menawarkan tanah pinggir laut yang ada patok-patok bambu kepada saksi Denny Prasetya Wangsya dari PT Cakra Karya Semesta,” kata Faiq di hadapan majelis hakim sebagaimana dilansir kantor berita Antara.
Tawaran pertama itu mentah. Pihak perusahaan menolak karena lahan tersebut tidak memiliki sertifikat yang sah. Namun, penolakan itu tidak membuat Arsin menyerah. Ia justru menyusun rencana yang lebih canggih dengan menggandeng seorang pengusaha bernama Hasbi Nurhamdi.
Hasbi menjanjikan imbalan menggiurkan hingga Rp500 juta jika Arsin dan perangkatnya berhasil menciptakan seluruh dokumen yang diperlukan untuk menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM).
“Syaratnya berupa Surat Keterangan Tanah Garapan atas nama masyarakat, NOP, hingga SPPT-PBB, seakan-akan tanah itu daratan,” ujar Faiq.
Di sinilah siasat licik memanfaatkan warga desa dimulai. Untuk membuat seolah-olah tanah itu milik warga, para terdakwa mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) dari masyarakat setempat. Warga yang tidak tahu menahu namanya dicatut untuk dijadikan pemohon semu atas tanah garapan fiktif.
Baca Juga: Kabar Terkini Kasus Pagar Laut Tangerang: Kades Kohod dan Kroninya Hari Ini Diadili
Hanya dalam satu hari, pada 20 Juni 2022, sebanyak 203 Surat Keterangan Tanah Garapan (SKTG) diterbitkan dengan total luas lahan mencapai 300 hektare. Untuk membujuk warga, mereka diimingi pembagian hasil jika "tanah" tersebut laku terjual.
“Masyarakat yang namanya dicantumkan akan mendapat pembagian 40 persen, sedangkan para terdakwa bersama Hasbi Nurhamdi 60 persen,” ungkap jaksa.
Dengan menggunakan komputer dan printer milik Sekretaris Desa Ujang Karta, dokumen-dokumen palsu itu dicetak dan diserahkan kepada Hasbi. Berbekal surat pengantar resmi yang diteken Kades Arsin, Hasbi berhasil mengelabui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Tangerang untuk menerbitkan 203 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang-Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB).
“Penerbitan dilakukan seakan-akan tanah laut tersebut sudah dibayar pajaknya,” kata Faiq.
Setelah dokumen pajak di tangan, dua terdakwa lainnya, Septian Prasetyo dan Chandra Eka Agung Wahyudi, bergerak cepat mengurus dokumen tambahan untuk mempercepat penerbitan SHM. Atas jasa mereka, Hasbi menggelontorkan uang sebesar Rp250 juta secara bertahap.
Dengan dokumen yang terlihat sah, transaksi jual beli pun terjadi. Pada periode Juli hingga September 2024, Septian yang bertindak mewakili warga Kohod meneken perjanjian jual beli dengan PT Cakra Karya Semesta. Puncaknya, pada Januari 2025, kesepakatan haram itu membuahkan hasil.
“Pada Januari 2025, saksi Denny menyerahkan Rp16,5 miliar kepada terdakwa Arsin sebagai pembayaran,” tutur Faiq.
Tak berhenti di situ, lahan fiktif tersebut kemudian dialihkan lagi ke PT Intan Agung Makmur dengan nilai fantastis, yakni Rp39,6 miliar. Dari hasil penjualan awal, sekitar Rp4 miliar dibagikan kepada warga yang namanya dicatut, sementara Rp12,5 miliar sisanya dikuasai oleh Hasbi dan dibagi-bagikan kepada para terdakwa.
“Arsin menerima sekitar Rp500 juta, Ujang Karta Rp85 juta, dan Septian serta Chandra masing-masing Rp250 juta,” ungkap jaksa.
Kini, para terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dijerat dengan pasal berlapis tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.