Teroris Menyusup Lewat Game Online, BNPT Ungkap 13 Anak Direkrut Jadi Simpatisan Jaringan Radikal

Bangun Santoso Suara.Com
Rabu, 01 Oktober 2025 | 11:48 WIB
Teroris Menyusup Lewat Game Online, BNPT Ungkap 13 Anak Direkrut Jadi Simpatisan Jaringan Radikal
Ilustrasi teroris. [Envato Elements]
Baca 10 detik
  • BNPT mengidentifikasi game online populer seperti Roblox sebagai sarana baru bagi kelompok teroris untuk merekrut anak-anak
  • Pola rekrutmen dilakukan dengan memindahkan interaksi dari ruang game ke platform chat privat seperti Telegram dan WhatsApp 
  • BNPT dan Densus 88 menekankan pentingnya kolaborasi antarlembaga

Suara.com - Dunia game online yang selama ini dianggap sebagai arena hiburan kini berubah menjadi ladang baru penyemaian bibit radikalisme. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) membunyikan alarm tanda bahaya bagi seluruh masyarakat, terutama para orang tua, setelah menemukan fakta mengejutkan, teroris kini menyusup melalui game online untuk merekrut anak-anak dan remaja.

Kepala BNPT, Komisaris Jenderal Polisi Eddy Hartono, mengungkapkan fenomena ini sebagai ancaman serius yang semakin mengkhawatirkan. Kelompok usia muda yang rentan menjadi sasaran empuk ideologi ekstrem yang dibungkus dalam permainan yang mereka nikmati sehari-hari.

"Sedikitnya 13 anak dari berbagai daerah di Indonesia telah terhubung melalui permainan daring Roblox, yang kemudian menjadi pintu masuk bagi jaringan simpatisan teroris," ujar Komjen Pol. Eddy dalam Rapat Koordinasi Lintas Kementerian di Jakarta, Selasa (30/9/2025).

Pola rekrutmen ini, menurut Eddy, berjalan secara sistematis dan licin. Interaksi yang diawali di dalam ruang permainan Roblox secara perlahan digeser ke platform komunikasi yang lebih privat dan tertutup, seperti Telegram dan WhatsApp. Di sinilah proses cuci otak atau indoktrinasi yang lebih intensif berlangsung, jauh dari pengawasan publik.

Ini adalah sebuah pola rekrutmen baru yang menjadi tantangan besar. Anak-anak tidak lagi hanya menjadi target pasif propaganda di media sosial, tetapi secara aktif diajak berinteraksi dalam dunia virtual yang mereka anggap aman.

Fenomena serupa, kata Eddy, bukanlah isapan jempol dan telah terjadi di berbagai negara. Pada tahun 2024, seorang remaja berusia 16 tahun di Singapura ditangkap karena kedapatan membuat simulasi zona militer Afghanistan di dalam game Roblox.

Permainan tersebut berhasil menarik banyak pengikut sebelum akhirnya mereka ditarik ke grup tertutup untuk penyebaran ideologi radikal.

Di Amerika Serikat dan Jerman, game online bahkan dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi kebencian, termasuk propaganda Nazi, yang ditujukan untuk melawan pemerintah dan aparat keamanan. Pola ini sejalan dengan peringatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa ancaman terorisme global kini semakin adaptif dan sulit diprediksi.

"Meski pengaruh Al-Qaeda dan ISIS di Asia Tenggara menurun, faktor lokal seperti ketidakadilan sosial dan isu politik tetap memicu kerentanan radikalisasi," kata Eddy sebagaimana dilansir kantor berita Antara.

Baca Juga: Prabowo Sebut Ada Makar dan Terorisme, Ferry Irwandi: Ibarat Kapal Tenggelam, Jangan Salahkan Air

Situasi diperparah dengan penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk menciptakan konten propaganda yang semakin canggih dan sulit dibedakan dari informasi asli. Konten buatan mesin ini, jika terus diulang, berpotensi dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh target yang tidak memiliki literasi digital yang cukup.

Oleh karena itu, BNPT mendorong adanya sinergi dan koordinasi lintas kementerian untuk memperkuat literasi digital, meningkatkan pengawasan di ruang siber, dan memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak.

“Kita semua, terutama para orang tua, harus mewaspadai ruang baru radikalisasi ini. Jangan sampai anak-anak kita justru belajar kebencian lewat permainan,” kata Eddy.

Peringatan ini disambut baik oleh Direktur Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88 Antiteror Polri, Brigadir Jenderal Polisi Arif Makhfudiharto. Ia menegaskan bahwa kolaborasi adalah kunci untuk menahan laju penyebaran paham radikal di dunia maya.

“Kolaborasi adalah kunci agar upaya pencegahan dan mitigasi radikalisasi di ruang digital bisa berjalan lebih efektif,” ucap Brigjen Pol. Arif.

Arif memaparkan adanya pergeseran signifikan dalam pola aksi terorisme. Jika dulu proses rekrutmen, baiat, hingga pelatihan dilakukan secara tatap muka, kini seluruh tahapan tersebut bisa dilakukan sepenuhnya secara daring. Anak-anak atau remaja yang memiliki masalah pribadi dan merasa terasingkan menjadi target yang sangat mudah untuk dijerat.

“Ketika seorang anak memiliki permasalahan pribadi, mereka bisa lebih mudah terjerumus dalam jejaring radikal melalui dunia maya. Ini masalah serius yang perlu kita tangani bersama,” ujarnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI