'Ini Partisipasi Semu!' Koalisi Sipil Tagih Janji dan Ultimatum DPR soal RKUHAP

Kamis, 02 Oktober 2025 | 16:09 WIB
'Ini Partisipasi Semu!' Koalisi Sipil Tagih Janji dan Ultimatum DPR soal RKUHAP
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP melayangkan surat resmi kepada DPR RI, Kamis (2/10/2025). [Suara.com/M Yasir]
Baca 10 detik
  • Koalisi sipil desak jawaban tertulis soal draf RKUHAP.

  • Partisipasi publik dinilai hanya formalitas dan 'semu'.

  • Pengesahan terburu-buru bisa menjadi bencana bagi demokrasi.

Suara.com - Puluhan organisasi masyarakat sipil secara resmi menantang DPR RI, menuntut jawaban transparan atas nasib masukan krusial mereka terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Mereka menilai proses pelibatan publik selama ini hanyalah 'partisipasi semu' dan kini mendesak adanya pertanggungjawaban tertulis.

Surat tuntutan tersebut diserahkan langsung oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP ke Gedung DPR/MPR RI pada Kamis (2/10/2025).

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iqbal Muharam, menegaskan bahwa partisipasi publik sejati bukan sekadar formalitas.

“Partisipasi publik bukan sekadar didengar atau right to be heard, tetapi juga harus dipenuhi haknya untuk mendapatkan penjelasan atau right to be explained. Tanpa itu semua ini hanyalah partisipasi semu,” tegas Iqbal.

Koalisi mengungkapkan bahwa 12 poin catatan kritis yang mereka serahkan sebelumnya—menyangkut isu-isu vital seperti pengawasan penyidikan, mekanisme upaya paksa, hingga perlindungan kelompok rentan—belum terakomodasi dalam draf RKUHAP versi terbaru.

Oleh karena itu, mereka kini menuntut jawaban tertulis agar publik bisa menilai secara objektif argumen di balik penolakan masukan tersebut.

"Kami meminta pemerintah dan juga DPR memberikan jawaban secara tertulis. Harapannya, kalau memang ini dijawab, kita ingin mengajak masyarakat untuk menilai sejauh mana DPR dan juga pemerintah apakah mereka mampu memberikan argumentasi jika masukan dari masyarakat sipil itu tidak diterima,” jelas peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Saffah Salisa.

Potensi Bencana Demokrasi

Baca Juga: Koalisi RFP: Draf RUU KUHAP Justru Jadikan Polisi 'Super Power', Harus Dibatalkan

Di tengah desakan ini, Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana, memberikan peringatan keras.

Menurutnya, memaksakan pengesahan RKUHAP tanpa perbaikan mendasar hanya akan melahirkan bencana bagi demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.

Ia menuntut agar proses pembahasan dilakukan secara serius dan tidak terburu-buru demi kepentingan politik sesaat.

“Jadi lagi-lagi kami menegaskan tidak usah buru-buru, tidak perlu tergesa-gesa untuk disahkan. Bahas secara serius dan pastikan bahwa RKUHAP ini lebih baik dan menjamin perlindungan hak asasi manusia bagi kita semua,” katanya.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian atau RFP mendesak pemerintah untuk membatalkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP yang saat ini dibahas di DPR.

Menurut mereka, alih-alih mereformasi, draf tersebut justru memperluas wewenang kepolisian menjadi super power dengan kontrol yang minim.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, yang tergabung dalam koalisi, menegaskan bahwa draf yang beredar saat ini tidak menjawab masalah, malah sebaliknya.

Ia mendesak agar draf tersebut dibatalkan dan paradigmanya diubah total.

"Maka KUHAP yang ada di-drop dulu ya, harus di-drop dulu. Dan diubah paradigmanya yang justru harus untuk mengontrol dan memberikan pengawasan lebih besar kepada penyidik dan seluruh sistem peradilan," kata Isnur dalam diskusi di Kantor ICW, Jakarta, Senin (15/9/2025).

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI