Halim Kalla Adik JK Tersangka Proyek 'Hantu' PLTU Mempawah, Modus Licik Atur Lelang Terbongkar

Bangun Santoso Suara.Com
Senin, 06 Oktober 2025 | 20:19 WIB
Halim Kalla Adik JK Tersangka Proyek 'Hantu' PLTU Mempawah, Modus Licik Atur Lelang Terbongkar
Presiden Direktur (Presdir) PT BRN Halim Kalla yang merupakan adik Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf Kalla ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan PLTU 1 Kalbar periode 2008-2018 bersama tiga orang lainnya. (Foto: Istimewa)
Baca 10 detik
  • Bareskrim Polri menetapkan pengusaha Halim Kalla sebagai tersangka korupsi proyek PLTU Mempawah
  • Modus korupsi yang terungkap adalah adanya pemufakatan jahat untuk memenangkan lelang proyek bagi perusahaan yang tidak memenuhi syarat
  • Proyek yang mangkrak sejak 2016 ini mengakibatkan kerugian total keuangan negara sebesar Rp323 miliar dan 62,4 juta dolar AS

Suara.com - Tabir korupsi mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 di Mempawah, Kalimantan Barat, yang mangkrak selama satu dekade akhirnya tersingkap. Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Bareskrim Polri secara resmi menetapkan empat orang sebagai tersangka, salah satunya adalah pengusaha ternama, Halim Kalla (HK).

Halim Kalla diketahui merupakan adik Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf Kalla ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan PLTU 1 Kalbar periode 2008-2018 bersama tiga orang lainnya.

Halim Kalla, yang menjabat sebagai Presiden Direktur PT BRN, terseret dalam pusaran kasus yang merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar rupiah dan puluhan juta dolar AS.

Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama mantan Direktur Utama PLN periode 2008-2009, Fahmi Mochtar (FM), serta dua petinggi swasta lainnya, RR selaku Dirut PT BRN, dan HYL dari PT Praba.

"Setelah berjalannya kemarin tanggal 3 Oktober, kami tetapkan sebagai tersangka melalui mekanisme gelar," tegas Kakortas Tipikor Polri, Irjen Cahyono Wibowo, dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Senin (6/10/2025).

Kasus ini, yang sebelumnya ditangani oleh Polda Kalbar sejak 2021, diambil alih oleh Bareskrim pada Mei 2024 untuk diusut lebih dalam. Hasilnya, penyidik menemukan adanya pemufakatan jahat yang dirancang sejak awal untuk menguasai proyek strategis tersebut.

Menurut Cahyono, modus utama dalam korupsi ini adalah adanya persekongkolan untuk memenangkan lelang proyek.

"Setelah dilakukan kontrak, kemudian ada pengaturan-pengaturan sehingga ini terjadi keterlambatan pembangunan sejak tahun 2008 sampai tahun 2018," ujarnya sebagaimana dilansir Antara.

Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri, Brigjen Totok Suharyanto, membeberkan secara rinci peran para tersangka. Pada tahun 2008, tersangka FM selaku Dirut PLN diduga kuat bersekongkol untuk memenangkan perusahaan milik Halim Kalla, PT BRN, dalam lelang pembangunan PLTU 1 Kalbar.

Baca Juga: Adik Jusuf Kalla dan Eks Dirut PLN Jadi Tersangka Korupsi PLTU Mangkrak Rp 1,35 Triliun

Panitia lelang, atas arahan FM, nekat meloloskan konsorsium KSO-BRN-Alton-OJSC meskipun secara teknis dan administrasi tidak memenuhi syarat. Lebih parahnya lagi, dua perusahaan asing dalam konsorsium tersebut diduga fiktif.

"Selain itu, diduga kuat bahwa perusahaan Alton dan OJSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN," ungkap Totok.

Setelah memenangkan lelang, akal-akalan kembali dimainkan. Sebelum kontrak ditandatangani pada 2009, KSO BRN milik Halim Kalla justru mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada, yang juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU. Sebagai imbalannya, PT BRN mendapatkan sejumlah imbalan.

Kontrak senilai ratusan miliar rupiah akhirnya diteken pada 11 Juni 2009. Namun, hingga batas waktu kontrak berakhir pada Februari 2012, pekerjaan baru rampung 57 persen. Meski kontrak telah diamandemen hingga 10 kali dan diperpanjang sampai 31 Desember 2018, proyek tersebut tak kunjung selesai dan akhirnya berhenti total sejak 2016.

"Fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen sehingga KSO BRN telah menerima pembayaran dari perusahaan listrik negara sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta dolar AS," papar Totok.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI telah menetapkan seluruh nilai pembayaran tersebut sebagai kerugian total (total loss) keuangan negara. Kini, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI