-
KPK belum umumkan tersangka dalam skandal korupsi haji.
-
Alasannya: menunggu hasil audit kerugian negara dari BPK.
-
Penyidikan dan audit berjalan pararel untuk perkuat bukti.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Asep menegaskan bahwa pembagian kuota haji seharusnya terdiri dari 92 persen untuk jemaah reguler dan 8 persen untuk jemaah khusus.
“Jadi kalau ada kuota haji, berapa pun itu, pembagiannya demikian. Kuota regulernya 92 persen, kuota khususnya 8 persen,” kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (5/8/2025).
Asep menjelaskan, ketentuan tersebut dibuat karena mayoritas calon jemaah haji mendaftar melalui jalur reguler.
Sementara itu, kuota haji khusus memiliki biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan jalur reguler sehingga porsinya dibatasi hanya 8 persen.
Dengan adanya tambahan 20.000 kuota haji, seharusnya pembagiannya adalah 18.400 untuk kuota reguler dan 1.600 untuk kuota khusus.
Namun, menurut Asep, realitas di lapangan menunjukkan adanya pembagian yang tidak sesuai dengan aturan.
“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua. 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ungkap Asep.
“Jadi kan berbeda dong, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Nah seperti itu, itu menyalahi aturan yang ada,” tambahnya.
Asep juga menyoroti dampak ekonomi dari penyimpangan tersebut.
Baca Juga: KPK Kasak-Kusuk Soal Jumlah dan Harga Kuota Haji Khusus yang Diperjualbelikan
Pembagian yang tidak sesuai aturan diduga menguntungkan pihak travel penyelenggara haji khusus, karena biaya per jemaah di jalur khusus jauh lebih tinggi.
“Kemudian prosesnya, kuota ini, ini kan dibagi-bagi nih. Dibagi-bagi ke travel-travel. Travel-travelnya kan banyak di kita, travel haji itu banyak. Dibagi-bagi sesuai dengan, karena ada asosiasi travel, tentunya kalau travelnya besar, ya porsinya besar. Travel yang kecil, ya dapatnya juga kecil,” ujar Asep.