- Amien Sunaryadi menilai pasal kerugian negara menghambat pemberantasan korupsi.
- Pasal tersebut membuat para pejabat BUMN takut mengambil inovasi bisnis.
- Amien mengusulkan pemberantasan korupsi fokus pada kasus suap dan gratifikasi.
Suara.com - Kritik tajam terhadap fondasi hukum pemberantasan korupsi di Indonesia datang dari figur yang pernah berada di jantung lembaga antirasuah.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Amien Sunaryadi, secara tegas menyatakan, keberadaan Pasal 2 dan 3 dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terbilang problematik.
Sebab, kata dia, pasal itu justru menjadi penyebab utama perang melawan korupsi di negeri ini seolah berjalan di tempat.
Kedua pasal tersebut, mendefinisikan korupsi yang berfokus pada kerugian finansial negara.
Pasal 2 menyasar perbuatan memperkaya diri sendiri yang merugikan keuangan negara.
Sementara Pasal 3 berfokus pada penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara.
Menurut Amien, fokus pada elemen "kerugian negara" inilah yang menjadi masalah fundamental.
“Tidak ada harapan perbaikan pemberantasan korupsi kalau pasal ini ada. Sejak KPK didirikan pada 2004 sampai sekarang, kita lihat korupsi di Indonesia tidak berkurang,” kata Amien saat memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Ferry Indonesia, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).
Pernyataan keras Amien dipicu oleh pertanyaan dari tim pembela hukum terdakwa mantan direksi ASDP—Ira Puspadewi, M Yusuf Hadi, dan Harry M.A.C.
Baca Juga: Sidang ASDP, Eks Bawahan Kenang Ira Puspadewi Berantas Preman dan Ajarkan Zero Fraud
Mereka menyoroti simpang siur penghitungan kerugian negara dalam kasus ini, di mana jaksa penuntut umum KPK menghitung sendiri kerugian sebesar Rp 1,253 triliun.
Angka ini bertentangan dengan fakta proses akuisisi telah diawasi oleh BPKP, BPK, dan Jamdatun, yang semuanya menyatakan tidak ada kerugian negara.
Hal ini juga dinilai janggal karena SEMA Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 menegaskan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau putusan hakim yang berwenang menetapkan kerugian negara.
Standar Ganda yang Menghambat di Kancah Internasional
Amien menegaskan, klausul "merugikan keuangan negara" merupakan anomali hukum yang hampir secara eksklusif hanya ada di Indonesia.
Lembaga antikorupsi di negara lain seperti Australia, Malaysia, hingga Hong Kong tidak menggunakannya sebagai landasan utama.