Blak-blakan di Sidang ASDP, Mantan Wakil Ketua KPK: Hapus Pasal 'Kerugian Negara'

M Nurhadi Suara.Com
Sabtu, 18 Oktober 2025 | 21:56 WIB
Blak-blakan di Sidang ASDP, Mantan Wakil Ketua KPK: Hapus Pasal 'Kerugian Negara'
Mantan Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi, bersaksi untuk meringankan terdakwa tiga mantan direktur PT ASDP Ferry Indonesia, Jumat 17 Oktober 2025.
Baca 10 detik
  • Amien Sunaryadi menilai pasal kerugian negara menghambat pemberantasan korupsi.
  • Pasal tersebut membuat para pejabat BUMN takut mengambil inovasi bisnis.
  • Amien mengusulkan pemberantasan korupsi fokus pada kasus suap dan gratifikasi.

Suara.com - Kritik tajam terhadap fondasi hukum pemberantasan korupsi di Indonesia datang dari figur yang pernah berada di jantung lembaga antirasuah.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Amien Sunaryadi, secara tegas menyatakan, keberadaan Pasal 2 dan 3 dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terbilang problematik.

Sebab, kata dia, pasal itu justru menjadi penyebab utama perang melawan korupsi di negeri ini seolah berjalan di tempat.

Kedua pasal tersebut, mendefinisikan korupsi yang berfokus pada kerugian finansial negara.

Pasal 2 menyasar perbuatan memperkaya diri sendiri yang merugikan keuangan negara.

Sementara Pasal 3 berfokus pada penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara.

Menurut Amien, fokus pada elemen "kerugian negara" inilah yang menjadi masalah fundamental.

“Tidak ada harapan perbaikan pemberantasan korupsi kalau pasal ini ada. Sejak KPK didirikan pada 2004 sampai sekarang, kita lihat korupsi di Indonesia tidak berkurang,” kata Amien saat memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Ferry Indonesia, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).

Pernyataan keras Amien dipicu oleh pertanyaan dari tim pembela hukum terdakwa mantan direksi ASDP—Ira Puspadewi, M Yusuf Hadi, dan Harry M.A.C.

Baca Juga: Sidang ASDP, Eks Bawahan Kenang Ira Puspadewi Berantas Preman dan Ajarkan Zero Fraud

Mereka menyoroti simpang siur penghitungan kerugian negara dalam kasus ini, di mana jaksa penuntut umum KPK menghitung sendiri kerugian sebesar Rp 1,253 triliun.

Angka ini bertentangan dengan fakta proses akuisisi telah diawasi oleh BPKP, BPK, dan Jamdatun, yang semuanya menyatakan tidak ada kerugian negara.

Hal ini juga dinilai janggal karena SEMA Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 menegaskan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau putusan hakim yang berwenang menetapkan kerugian negara.

Standar Ganda yang Menghambat di Kancah Internasional

Amien menegaskan, klausul "merugikan keuangan negara" merupakan anomali hukum yang hampir secara eksklusif hanya ada di Indonesia.

Lembaga antikorupsi di negara lain seperti Australia, Malaysia, hingga Hong Kong tidak menggunakannya sebagai landasan utama.

Akibatnya, Indonesia seringkali menemui jalan buntu saat memburu koruptor yang melarikan diri ke luar negeri.

“Itu sebabnya kalau Indonesia bekerjasama dengan negara lain, Indonesia tidak bisa menangkap tersangka korupsi Indonesia yang kabur ke negara lain karena kita menggunakan pasal ini,” tambah Amien.

Kerja sama internasional melalui perjanjian mutual legal assistance (MLA) untuk menyita aset hasil korupsi di luar negeri pun menjadi tumpul.

“Kita tidak bisa menangkap dan tidak bisa hartanya di luar negeri disita melalui perjanjian internasional (mutual legal assistance). Mereka selalu bilang itu tidak ada dalam hukum pidana kami. Yang ada adalah klausul suap atau bribery,” kata Amien.

Efek Mengerikan: BUMN Takut Inovasi

Lebih jauh, Amien memaparkan dampak destruktif dari pasal ini terhadap pengambilan keputusan bisnis, terutama di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Menurutnya, banyak pejabat BUMN kini enggan mengambil risiko bisnis yang inovatif karena takut dikriminalisasi. Setiap kegagalan bisnis yang wajar berpotensi dipelintir menjadi "kerugian negara".

Ia mencontohkan kondisi di Pertamina. Indonesia memiliki 128 cekungan minyak dan gas, namun eksplorasi hampir mati suri.

“Tapi para pejabat BUMN itu ogah mengebor. Mereka takut dikriminalisasi karena sekarang aparat hukum hanya fokus pada 7 sumur yang dianggap merugikan negara. Pertamina takut ngebor. Terakhir ngebor itu tahun 1967,” kata Amien.

Akibatnya, Indonesia yang kaya sumber daya alam justru terus bergantung pada impor minyak.

“Duit kita mengalir ke Menteri Keuangan Angola, karena kita impor dari sana,” ujar mantan Kepala SKK Migas ini.

Karena itu, Amien bersama 11 tokoh lainnya mendorong agar pasal ini dicabut.

Fokus pemberantasan korupsi seharusnya dialihkan ke tindak pidana suap dan gratifikasi, yang memiliki unsur niat jahat (mens rea) yang jelas dan diakui secara universal.

“Adalah salah kalau korupsi itu hanya dilihat dari klausul merugikan negara,” tegasnya.

Saran untuk Kasus ASDP: Kembali ke Penyelidikan

Dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim Sunoto turut mencecar Amien mengenai kasus ASDP yang diwarnai perbedaan perhitungan nilai aset.

“Menurut Anda kasus ini sebaiknya bagaimana? Apakah kembali dilakukan penyelidikan, atau diteruskan ke gugatan perdata, atau pidana?” tanya hakim.

Amien menyarankan agar kasus tersebut diselidiki ulang secara mendalam, dengan melibatkan ahli yang tepat.

“Maka ya tanya ke pada penilai perusahaan itu, yakni P2PK (Pusat Pembinaan Profesi Keuangan). Jangan tanya ke dosen atau akademisi. Kalau ke dosen kita tanya ujian saja,” ujarnya.

Saat hakim menyinggung soal bukti percakapan WhatsApp yang diduga sebagai pengondisian harga, Amien, dengan pengalaman audit forensiknya, memberikan pandangan tajam.

“Yang harus dilihat dari chat-chat itu apakah ada kata-kata yang berisi tentang suap dan kickback. Kalau chat biasa pembeli dan penjual itu wajar,” jelasnya.

Ia bahkan mencontohkan bagaimana KPK di masanya menyusun 3.000 daftar kata sandi untuk suap, seperti "durian" dan "apel washington", untuk menyaring jutaan email dan menemukan bukti korupsi yang sesungguhnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI