- Kasus perundungan murid SMP di Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, yang berawal dari salah kirim stiker WhatsApp jadi perhatian Menteri PPPA Arifah Fauzi.
- Ia menegaskan kekerasan di sekolah tidak bisa ditolerir dan telah memastikan pendampingan bagi korban serta pembinaan terhadap pelaku.
- Arifah juga menyoroti pentingnya literasi digital dan pendidikan etika berkomunikasi agar anak-anak lebih bijak bermedia sosial.
Suara.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menegaskan kasus perundungan antara pelajar SMP di Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, jadi peringatan serius kalau kekerasan fisik di lingkungan sekolah tidak bisa ditolerir.
Kasus itu terjadi akibat salah kirim stiker di aplikasi WhatsApp dan melibatkan sesama pelajar di satu sekolah. Arifah menyayangkan masih maraknya perundungan antar pelajar.
“Sangat disayangkan kasus perundungan masih terus marak terjadi. Kejadian perundungan tidak dapat ditoleransi,” tegas Arifah dalam keterangan resminya, Selasa (20/10/2025).
Ia menyebut KemenPPPA bersama dinas terkait telah bertindak cepat memastikan penanganan terhadap korban dan pencegahan agar kasus serupa tidak terulang.
"Kami telah berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Sumatera Selatan dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PMDP3A) setempat,” ujar Arifah.
Saat ini, anak korban telah mendapatkan pendampingan pemulihan trauma, sementara terduga pelaku anak sedang menjalani proses hukum sesuai peraturan perundangan dengan tetap memperhatikan kepentingan terbaik anak.
Arifah menjelaskan kasus ini telah dilaporkan dan kini berada pada tahap penyidikan. Proses mediasi dan diversi yang difasilitasi oleh Kepolisian Resor Muratara juga telah berjalan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Arifah meminta Dinas PMDP3A, Dinas Pendidikan, dan pihak sekolah memastikan pendampingan berkelanjutan bagi korban serta pembinaan terhadap pelaku selama proses penyelesaian berlangsung.
“Pendekatan restoratif melalui diversi adalah langkah yang tepat untuk kasus-kasus anak dengan ancaman pidana di bawah 7 tahun. Tujuannya bukan hanya menghentikan konflik, tetapi memulihkan keadaan dan memastikan anak tidak mengulangi perbuatannya. Kami mendorong penerapan disiplin positif oleh sekolah dan orang tua sebagai bagian dari proses pendidikan,” kata Arifah.
Baca Juga: Geger Di-bully Mahasiswa Unud usai Meninggal, Sosok Timothy Ternyata Aktivis Kampus!
Selain aspek hukum, Arifah juga menekankan pentingnya pencegahan kekerasan melalui literasi digital dan etika berkomunikasi di dunia maya.
“Sekolah memiliki peran kunci dalam mengedukasi siswa mengenai literasi digital dan cara bermedia sosial yang bijak. Nilai-nilai ini perlu ditanamkan kepada anak-anak saat ini yang aktif menggunakan perangkat digital, sehingga teknologi dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif dan menambah pengetahuan,” pesannya.