- Presiden Jokowi membela proyek Whoosh sebagai "investasi sosial" untuk mengatasi kerugian akibat kemacetan, bukan proyek yang dirancang untuk mencari keuntungan finansial
- Anggota Komisi VI DPR, Nasim Khan, menyatakan label "investasi sosial" tidak menghilangkan kewajiban untuk transparan dan akuntabel dalam hal pembiayaan dan efisiensi proyek
- DPR mendesak adanya mekanisme pengukuran yang jelas (social return on investment) untuk memastikan manfaat sosial Whoosh benar-benar nyata dan tidak menjadi beban negara yang lebih besar
Suara.com - Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) akhirnya angkat bicara di tengah polemik utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) yang kini masuk radar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi menegaskan bahwa proyek raksasa ini adalah "investasi sosial" jangka panjang untuk mengatasi kerugian akibat kemacetan, bukan proyek komersial untuk meraup laba. Namun, dalih ini langsung mendapat sorotan tajam dari parlemen.
Anggota Komisi VI DPR RI, Nasim Khan, menilai meskipun ada dasar yang kuat di balik klaim Jokowi, label "investasi sosial" tidak serta-merta membebaskan proyek Whoosh dari pertanyaan serius mengenai pembiayaan, efisiensi, dan transparansi.
"Pernyataan Jokowi bahwa proyek Whoosh adalah investasi sosial dan bukan sekadar proyek mencari laba memiliki dasar yang kuat, terutama jika dilihat dari sisi mengurangi kerugian akibat kemacetan dan manfaat sosial-ekonomi yang lebih luas," ujar Nasim saat dihubungi Suara.com, Selasa (28/10/2025).
Di tengah panasnya isu dugaan korupsi, ayah dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ini menekankan bahwa prinsip dasar pembangunan transportasi massal adalah pelayanan publik.
"Transportasi massa, transportasi umum itu tidak diukur dari laba, tetapi adalah diukur dari keuntungan sosial," kata Jokowi di Surakarta, Jawa Tengah, belum lama ini.
Jokowi membeberkan, proyek Whoosh lahir dari urgensi mengatasi kemacetan parah di Jabodetabek dan Bandung yang telah menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. Keuntungan yang dikejar, menurutnya, bersifat non-finansial.
"Misalnya pengurangan emisi karbon, produktivitas dari masyarakat menjadi lebih baik, polusi yang berkurang, waktu tempuh yang bisa lebih cepat. Di situlah keuntungan sosial yang didapatkan dari pembangunan transportasi massa," ujarnya.
Meski demikian, Nasim Khan dari DPR mengingatkan bahwa klaim tersebut tidak bisa menjadi tameng untuk menghindari pengawasan. Ia menekankan bahwa akuntabilitas tetap menjadi kunci utama agar proyek strategis ini tidak menjadi beban negara.
"Di sisi lain, klaim tersebut tidak membebaskan proyek dari pertanyaan serius terkait pembiayaan, efisiensi, transparansi, dan realisasi manfaatnya," tegas Nasim.
Baca Juga: Korupsi Whoosh Memanas, Ketua KPK Soal Saksi: Masih Kami Telaah Dulu
Ia mendorong adanya mekanisme pengukuran yang jelas untuk membuktikan klaim "investasi sosial" tersebut agar tidak hanya menjadi retorika.
"Karena meskipun sebuah proyek dianggap 'investasi sosial', tetap perlu mekanisme pengukuran yang jelas (social return on investment), serta akuntabilitas agar proyek tidak menjadi beban yang lebih besar daripada manfaatnya," pungkasnya.