-
Terdapat perbedaan signifikan data impor pakaian bekas antara catatan resmi Indonesia dan data PBB.
-
Malaysia dan Tiongkok adalah eksportir utama versi PBB, namun tidak tercatat di data Indonesia.
-
Aliran impor ilegal ini berisiko tinggi menyebarkan berbagai penyakit dan infeksi kulit kepada konsumen.
Suara.com - NEXT Indonesia Center membuka kotak pandora mengenai perbedaan signifikan antara catatan resmi Pemerintah Indonesia dan data perdagangan global terkait negara asal pakaian bekas impor.
Disparitas data ini mengindikasikan adanya aliran masif barang impor yang lolos dari pencatatan kepabeanan nasional, memicu pertanyaan besar tentang pengawasan dan potensi kerugian negara.
Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, memaparkan bahwa data internal pemerintah hanya mencatat 10 negara utama sebagai pengekspor pakaian bekas.
"Sepuluh negara itu merupakan catatan resmi Indonesia," ujar Christiantoko dalam keterangannya, Kamis (30/10/2025).
Ia sendiri merujuk pada daftar yang didominasi Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang. Total nilai impor dari sepuluh negara tersebut dalam dua dekade terakhir mencapai US$13,1 juta.
Namun, data yang dirilis oleh UN Comtrade, database perdagangan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyajikan narasi yang sama sekali berbeda.
Lembaga internasional itu justru menempatkan Malaysia di posisi puncak eksportir pakaian bekas ke Indonesia, diikuti oleh Singapura dan Tiongkok.
Ironisnya, Malaysia dan Tiongkok sama sekali tidak masuk dalam daftar sepuluh besar versi Indonesia.
“Informasi itu mengisyaratkan adanya data dari negara-negara eksportir pakaian bekas ke Indonesia yang tidak tercatat secara resmi oleh kepabeanan kita,” tutur Christiantoko.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Mau Tindak Pakaian Bekas Impor Ilegal, Saleh Husin: Ayo Gas Terus!
Temuan ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan sinyal kuat adanya praktik impor ilegal dalam skala besar.
Selain itu, Christiantoko juga menyoroti aspek kesehatan publik yang menjadi korban dari maraknya peredaran pakaian bekas ilegal.
“Sudah banyak ahli kesehatan yang menyampaikan potensi infeksi kulit dari pakaian bekas. Kementerian Kesehatan perlu menyampaikan edukasi soal ini,” ujarnya.
Ia menilai penanganan impor ilegal harus diperluas dari sekadar penindakan hukum ke ranah edukasi publik mengenai risiko yang menyertainya.