suara hijau

Hidup di Balik Tanggul Luat Raksasa: Kisah Warga Tambakrejo Membangun Harapan dari Akar Mangrove

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Jum'at, 14 November 2025 | 12:02 WIB
Hidup di Balik Tanggul Luat Raksasa: Kisah Warga Tambakrejo Membangun Harapan dari Akar Mangrove
Kelompok Camar membudidayakan mangrove di Tambakrejo Semarang. (Suara.com/Ikhsan)
Baca 10 detik
  • Warga Tambakrejo hidup bertahun-tahun berdampingan dengan rob akibat reklamasi dan penurunan tanah.
  • Mereka menanam mangrove sebagai benteng alami yang sekaligus menghidupkan ekonomi dan menyerap karbon biru.
  • Tanggul laut terbukti tidak efektif, dan solusi sejati ada pada pemulihan ekosistem pesisir berbasis alam.

Suara.com - Slamet Riyadi duduk di depan rumahnya. Hujan baru saja reda. Udara masih lembap, dan bau asin laut terasa di hidung.

Jalan kecil di depan rumahnya di Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, tampak berkilau oleh genangan air. Langit mendung memantul di permukaannya.

Ia menatap tanpa banyak gerak. Pemandangan seperti ini sudah sering ia lihat. Sejak bertahun-tahun lalu, air selalu datang, entah dari hujan, laut, atau tanggul yang tak lagi mampu menahan tekanan.

Genangan di RW 16 bukan sekadar limpasan air hujan. Ada rasa asin di udara, tanda air laut ikut menyusup dari arah barat. Dari balik tanggul, air perlahan merembes, melewati jalan, masuk ke halaman rumah.

Kondisi rumah tenggelam akibat rob di Tambakrejo Semarang.  (Suara.com/Ikhsan)
Kondisi rumah tenggelam akibat rob di Tambakrejo Semarang. (Suara.com/Ikhsan)

Kawasan pesisir itu sejak lama terpaksa berdamai dengan bencana ekologis berupa rob atau naiknya permukaan air laut. Warga Tambakrejo bahkan berulang kali harus meninggikan rumah mereka agar tidak tenggelam.

Namun alam tidak bekerja sendiri. Reklamasi di kawasan Marina, pembangunan industri, dan penurunan tanah akibat penyedotan air bawah tanah membuat keadaan semakin buruk. Arus laut berubah, dan air mencari tempat lain untuk kembali. Tempat itu adalah permukiman.

“Selain alam, rob juga karena ulah manusia,” kata Slamet pelan, pandangannya tak lepas dari genangan di depan rumah.

“Dulu pesisir itu wadah air yang luas. Sekarang makin sempit. Mau tidak mau, air akan cari tempat yang rendah,  dan akhirnya, ya ke sini lagi.”

Warga Kehilangan Tambak dan Puluhan Rumah Rusak Akibat Rob

Baca Juga: Atasi ketimpangan, Startup Dilibatkan untuk Ciptakan Solusi Permanen Bagi Kemiskinan Pesisir

Slamet, yang lahir dan besar di Tambakrejo, menuturkan saat ia kecil sekitar 1980-an, masyarakat di wilayah itu didominasi petani tambak. Saat itu, kehidupan masyarakat tergolong makmur berkat hasil budidaya ikan dan jarak antara laut dengan permukiman masih cukup jauh, sekitar satu kilometer.

Namun, pembangunan yang masif di wilayah pesisir menjadi bencana. Medio 2000-an, air rob mulai memasuki kawasan permukiman, dan puncaknya terjadi pada 2020 ketika genangan air mencapai setinggi pinggang orang dewasa.

Laki-laki yang juga menjabat sebagai Ketua RW 16 itu mengatakan rob yang tak kunjung tertangani membuat puluhan warga kehilangan tempat tinggal. Di wilayah RT 005, sekitar 25 rumah rusak parah akibat terus-menerus dihantam air laut, sementara warga kesulitan mencari biaya untuk memperbaiki rumah mereka. 

Kelompok Camar membudidayakan mangrove di Tambakrejo Semarang. (Suara.com/Ikhsan)
Kelompok Camar membudidayakan mangrove di Tambakrejo Semarang. (Suara.com/Ikhsan)

Slamet mengatakan warga yang rumahnya rusak parah, mereka terpaksa meninggalkan Kampung Tambakrejo. Sebagian menumpang di rumah saudara, sisanya memilih mengontrak di lokasi yang lebih aman.

“Sisa puing-puing rumah yang rusak di RT 005 masih ada. Warga kami terpaksa pindah tempat, tapi mereka belum pindah secara administrasi,” ungkap Slamet. 

Tanggul Laut Belum Menjadi Solusi

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI