suara hijau

Ironi Dana Iklim: Hanya 10 Persen Kembali ke Kampung Masyarakat Adat

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Rabu, 19 November 2025 | 10:43 WIB
Ironi Dana Iklim: Hanya 10 Persen Kembali ke Kampung Masyarakat Adat
Ilustrasi masyarakat adat. (Dok. Istimewa)
Baca 10 detik
    • Hanya kurang dari 10 persen dana iklim global sampai ke kampung dan Masyarakat Adat.
    • Beragam program dana iklim gagal karena birokrasi dan skema pendanaan yang tidak adil.
    • Negara maju dituntut membayar utang ekologis dan menghentikan skema pinjaman berbungkus iklim.

Suara.com - Di tengah berlangsungnya COP 30 di Brasil, ironi pendanaan iklim kembali mencuat. Sejumlah pihak mencatat hanya sekitar 10 persen dana iklim dunia benar-benar sampai di kampung-kampung dan Masyarakat Adat.

Temuan International Institute for Environment and Development (IIED) menunjukkan bahwa dari total US$17,4 miliar dana iklim global periode 2003–2016, hanya sekitar US$1,5 miliar yang mengalir untuk aktivitas di tingkat lokal. Hambatan terbesar datang dari birokrasi yang berlapis.

Padahal, Masyarakat Adat adalah garda terdepan penjaga hutan, laut, dan ekosistem yang kini makin tertekan krisis iklim.

“Kami mempercayakan pengelolaan dana kepada Masyarakat Adat dan membantu prosesnya, mulai dari penulisan proposal sampai menjaga bukti pembayaran untuk akuntabilitas dan lain sebagainya. Jadi bukan mempersulit, tapi mempermudah,” kata Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa, dalam diskusi Nexus Tiga Krisis Planet pada 18 November 2025.

Ia mencontohkan situasi di Raja Ampat. Banyak homestay milik Masyarakat Adat rusak selama pandemi namun sulit mendapat pendanaan untuk bangkit kembali.

“Padahal kalau mendapat pendanaan dan bisnisnya berjalan kembali, masyarakat mau mengembalikan dana tersebut. Jadi bukan minta. Dan merekalah yang selama ini menjaga terumbu karang, menjaga hutan di sana,” ujarnya.

Bustar juga menyoroti rencana percepatan pengakuan 1,4 juta hektare hutan adat. Proses verifikasi membutuhkan pendanaan, yang hanya bisa cepat jika komitmen negara maju benar-benar berjalan.

“Kalau misalnya komitmen dana yang disampaikan negara-negara maju bisa jalan, proses pengakuan ini bisa lebih cepat,” katanya.

Model pendanaan yang lebih mudah juga dijalankan Dana Nusantara.

Baca Juga: Draf NDC 3.0 Dinilai Tak Cukup Ambisius, IESR Peringatkan Risiko Ekonomi dan Ekologis

“Cara aksesnya mudah, dilandasi saling percaya, dan bentuknya hibah,” kata Program Manager Tanti Budi Suryani.

Dana ini telah mendukung 450 inisiatif masyarakat dalam dua tahun terakhir. Namun birokrasi tetap menjadi hambatan besar. Tanti menceritakan sebuah komunitas di Kalimantan Timur yang gagal menerima pendanaan karbon sekitar Rp40 juta meski sudah menjaga hutan selama lima tahun. “Persoalannya adalah birokrasi yang panjang,” ujarnya.

Masalah ini makin rumit saat negara maju justru mendorong pendanaan iklim dalam bentuk pinjaman.

“Dalam kesepakatan Paris, disebutkan bahwa negara maju juga memiliki mandat untuk membantu negara berkembang. Jadi bukan hanya memberikan akses, tapi bahkan pendanaannya,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios.

Bhima menegaskan negara maju memiliki utang ekologis historis sejak revolusi industri. Karena itu, pendanaan iklim seharusnya berupa hibah, bukan pinjaman berbunga yang menambah beban negara berkembang.

Pemerintah juga didorong menagih utang ekologis tersebut dan memastikan negara perusak lingkungan bertanggung jawab.

“Jika mereka terus melakukan perusakan lingkungan, mereka bisa dibawa ke mahkamah internasional,” katanya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI