-
- Otoritarianisme dan dominasi teknologi makin menekan ruang gerak jurnalis di Asia.
- Serangan digital dan fisik meningkat, dengan jurnalis perempuan paling rentan.
- Editor senior menyerukan solidaritas dan kolaborasi sebagai cara bertahan.
Suara.com - Menguatnya otoritarianisme dan dominasi perusahaan teknologi jadi tantangan bagi jurnalisme dan media di Asia. Isu tersebut mengemuka dalam panel pembuka Global Investigative Journalism Conference 2025 (GIJC25) di Kuala Lumpur, beberapa waktu lalu.
Para editor investigasi senior menyebut media kini bekerja dalam iklim yang makin berbahaya, dengan anggaran redaksi yang terus menipis dan serangan digital maupun fisik yang semakin sering terjadi, terutama terhadap jurnalis perempuan.
Dari Indonesia, CEO Tempo Digital Wahyu Dhyatmika memaparkan teror yang dialami redaksinya setelah menerbitkan laporan judi online yang menyeret seorang politikus berpengaruh.
Sebuah kotak berisi kepala babi dengan telinga terpotong dikirimkan kepada seorang reporter Tempo.
“Saya pikir ini salah satu aksi teror paling brutal yang pernah kami terima sepanjang kami bekerja sebagai jurnalis,” ujarnya.
![Kantor Tempo dikirimi kepala babi yang ditujukan kepada salah satu host Bocor Alus Politik. [dok Tempo]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/03/23/91215-kepala-babi-kantor-tempo-teror.jpg)
Tiga minggu setelah laporan itu terbit, situs Tempo Digital juga diserang DDoS sampai tak bisa diakses. Wahyu menyebut pola ini sebagai bukti bahwa ruang kebebasan sipil untuk menyampaikan kritik makin terhimpit.
Dalam aksi protes besar, katanya, polisi bahkan menargetkan fotografer dan videografer. “Mereka akan berusaha menghapus dan menghilangkan semua rekaman pemukulan polisi terhadap para demonstran,” ucapnya.
Dari Filipina, Executive Editor Rappler Glenda Gloria menekankan pentingnya mengembalikan kepercayaan publik melalui pelibatan warga dalam laporan investigasi.
“Tidak ada cara yang lebih baik untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap jurnalisme investigatif selain menunjukkan bahwa reporter benar-benar menindaklanjuti petunjuk dan informasi dari masyarakat,” katanya.
Baca Juga: Media Vietnam Heran Target Timnas Indonesia U-22 di SEA Games 2025 Bukan Medali Emas
Ia menyebut kontribusi warga—dari foto, video, hingga petunjuk lapangan—semakin menentukan arah laporan.
Sementara itu, Gunel Safarova dari Abzas Media, Azerbaijan, memaparkan risiko yang dihadapi jurnalis perempuan di bawah represi negara. Rekan-rekannya dipenjara bertahun-tahun atas dakwaan bermotif politik.
“Secara emosional ini berat, karena ketika kolega Anda—yang juga teman Anda—dipenjara, itu tidak adil. Tapi saya pikir kami berutang kepada mereka,” ujarnya.
Dari Taiwan, Sherry Lee dari The Reporter menyoroti tekanan militer China dan perang informasi yang berlangsung setiap hari.
“Yang kami hadapi sekarang bukan perang terbuka. Ini zona abu-abu konflik,” katanya.
Panel ditutup dengan peringatan bahwa ancaman terhadap jurnalis di Asia, dari serangan digital hingga kriminalisasi, semakin terstruktur. Para pembicara sepakat: di tengah tekanan otoritarianisme dan dominasi platform besar, jurnalisme investigatif hanya bisa bertahan lewat solidaritas, kolaborasi lintas negara, dan keberanian untuk terus melawan.