Suara.com - Di tengah tekanan terhadap demokrasi dan serangan disinformasi yang kian terorganisasi, Maria Ressa, pendiri Rappler dan peraih Nobel Perdamaian, menegaskan bahwa kolaborasi radikal adalah satu-satunya jalan bagi media untuk bertahan.
Dalam pembukaan GIJC25 di Malaysia, ia menyebut industri media berada pada titik paling genting dalam satu dekade terakhir: otoritarianisme menguat, pendanaan menurun, dan jurnalis menghadapi represi yang semakin brutal.
“Segala sesuatu yang kita ketahui sebagai sebuah industri telah hancur… Ini adalah saatnya untuk kolaborasi radikal,” kata Ressa.
Ia menekankan bahwa media tak lagi bisa bekerja sendiri-sendiri. Redaksi, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas akar rumput harus membangun ekosistem yang saling menopang, bukan jalan masing-masing tanpa terhubung satu sama lain.
Tanpa itu, fakta akan kalah cepat dari kebohongan yang diproduksi dan disebarkan secara sistematis.
Ressa mengingatkan bahwa kebebasan pers mungkin hanya punya satu tahun tersisa jika tidak ada langkah kolektif yang nyata.
Ia mengaitkan peringatannya dengan pengalaman pribadinya: 11 surat perintah penangkapan dalam setahun, tepat saat Rappler mulai mencetak keuntungan.
Bagi Ressa, ini bukti bahwa kekuasaan takut pada jurnalisme yang efektif, dan bahwa hanya solidaritas publik yang bisa menahan serangan.
Kabar baik sempat muncul ketika Rodrigo Duterte, sosok yang berusaha membungkam Rappler, ditahan di Den Haag.
Baca Juga: Masalahnya Bukan di Netflix, tapi di Literasi Digital Kita
“If you keep doing your jobs and collaborate together, impunity ends,” ujarnya. Namun ia menegaskan bahwa ancaman tetap masif: 2024 adalah tahun paling mematikan bagi jurnalis, dengan ratusan terbunuh hanya di Gaza.

Ancaman terbesar berikutnya datang dari algoritma platform digital. Ressa menyebutnya sebagai perang terhadap fakta, medan kolonialisme baru yang memperkuat kebencian dan meruntuhkan kepercayaan publik.
“Tanpa fakta, kamu tidak bisa memiliki kebenaran; tanpa kebenaran, kamu tidak bisa memiliki kepercayaan,” tegasnya.
Menurutnya, 2026 menjadi tahun penentuan: jendela terakhir bagi media independen untuk memperkuat hak, mencari model keberlanjutan baru, dan membangun aliansi lintas sektor. Jika tidak, banyak redaksi menengah bisa “mati dalam setahun.”
Di hadapan lebih dari seribu jurnalis, Ressa menutup dengan satu peringatan yang tak bisa diabaikan:
di era perang terhadap fakta, media hanya bisa bertahan bila bekerja bersama. Kolaborasi radikal bukan strategi—ini penyelamat demokrasi.