- Mangrove global bernilai ekonomi tinggi, rata-rata USD 15.000 per hektare per tahun, namun biaya restorasi di Indonesia tergolong mahal.
- Studi di Cilacap menunjukkan usaha pengepul kepiting bakau sangat layak secara ekonomi, bergantung pada kesehatan ekosistem mangrove setempat.
- Rekomendasi penting adalah memprioritaskan konservasi mangrove yang sudah ada serta mengembangkan model ekonomi berbasis sumber daya alam tersebut.
Suara.com - Di pesisir Indonesia, hutan mangrove sering dipandang sebagai pelindung alami garis pantai. Namun, perannya jauh lebih luas, mangrove bisa menjadi pilar ekonomi bagi masyarakat pesisir jika dikelola secara tepat.
Data global dan hasil riset lokal menunjukkan bahwa menjaga mangrove memberikan manfaat ekologis sekaligus keuntungan ekonomi.
Nilai Ekonomi Mangrove Secara Global
Menurut laporan oleh World Bank (2022), setiap hektare mangrove dapat menghasilkan manfaat ekosistem rata-rata sekitar USD 15.000 per tahun. Di beberapa lokasi, manfaat ini bahkan mendekati USD 50.000 per hektare per tahun.
Dengan kurs Rp16.630 per USD, itu berarti satu hektare mangrove bisa bernilai sekitar Rp249 juta hingga Rp831 juta per tahun. Bahkan jika hanya sebagian dari nilai tersebut yang terealisasi, misalnya dari perlindungan pantai, penyangga perikanan, hingga potensi karbon biru, dampaknya pada kesejahteraan pesisir bisa sangat besar.
Namun, investasi untuk restorasi mangrove tidaklah kecil. Biaya restorasi di Indonesia menurut World Bank rata-rata USD 3.900 per hektare (sekitar Rp64,8 juta). Angka ini lebih tinggi daripada median global. Maka dari itu, laporan tersebut merekomendasikan agar konservasi mangrove yang sudah ada menjadi prioritas, serta restorasi dilakukan dengan strategi yang bijak, termasuk pembiayaan jangka panjang, pemantauan, dan manajemen keberlanjutan.
Studi Lokal: Kepiting Bakau dan Kelangsungan Ekonomi Warga
Manfaat nyata dari mangrove tampak di wilayah pesisir seperti di Segara Anakan bagian barat, Cilacap. Penelitian berjudul “Analisis Ekonomi Usaha Kepiting Bakau (Scylla sp.) Melalui Sistem Pengepul di Segara Anakan Bagian Barat Cilacap” yang dipublikasikan di jurnal Pena Akuatika: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan oleh para peneliti dari Universitas Jenderal Soedirman yaitu Teuku Junaidi, Endang Hilmi, Benny Diah Madusari, dan M. Haris Williansyah, menunjukkan bahwa mangrove membuka peluang ekonomi langsung bagi masyarakat pesisir.
Dalam penelitian ini, pengepul kepiting bakau melaporkan pendapatan tahunan sebesar Rp 465.360.333, dengan biaya operasional sekitar Rp 438.045.861, sehingga keuntungan bersih mendekati Rp27.314.472. Dengan perhitungan kelayakan usaha, nilai NPV menunjukkan Rp11.367.986, tingkat pengembalian IRR mencapai 42%, dan rasio manfaat terhadap biaya (BCR) sebesar 1,74. Angka ini menunjukkan bahwa sistem pengepul dengan komoditas kepiting bakau secara ekonomi layak dilakukan.
Baca Juga: Berlangsung di GBK, Komunitas Telkom Runners Kampanye Peduli Mangrove
Kepiting bakau seperti Scylla sp. hidup dan berkembang di ekosistem mangrove. Dengan demikian, kelestarian mangrove berkorelasi langsung dengan kelangsungan mata pencaharian masyarakat pesisir, dalam hal ini dari hasil tangkapan dan perdagangan kepiting.
Melihat Masalah dan Jalan Keluar
Restorasi mangrove di daerah pesisir bukan hanya masalah hilangnya ekosistem, tetapi juga potensi solusi dan tindakan nyata. Data global dan lokal menunjukkan bahwa melestarikan mangrove bukan hanya soal konservasi alam, tetapi juga soal menjaga stabilitas ekonomi masyarakat pesisir.
Beberapa langkah yang bisa diperkuat:
- Mengutamakan konservasi hutan mangrove yang masih lestari daripada sekadar restorasi masif, karena restorasi memiliki biaya tinggi dan tingkat keberhasilan yang tidak selalu tinggi.
- Mengembangkan model ekonomi berbasis mangrove, seperti sistem pengepul kepiting bakau, perikanan berkelanjutan, dan aktivitas lain yang ramah lingkungan. Studi di Cilacap menunjukkan bahwa mekanisme seperti ini dapat menghasilkan pendapatan nyata.
- Menyusun kebijakan yang mendukung kombinasi konservasi, restorasi, dan keuangan biru (blue finance) untuk mendanai pemeliharaan mangrove serta memberdayakan komunitas lokal.
- Menyediakan data, pemetaan, dan mekanisme pemantauan jangka panjang agar restorasi dan konservasi bisa dievaluasi secara berkala dan disesuaikan dengan kondisi lokal.
Dengan pendekatan seperti itu, mangrove dapat dikonservasi secara berkelanjutan sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi bagi komunitas pesisir. Upaya ekologis dan ekonomi tidak harus berjalan terpisah. Sebaliknya, keduanya bisa saling memperkuat, asalkan dikelola dengan bijak dan berpijak pada data ilmiah.
