Di Balik Senyum di Posko Pengungsian, Perempuan Sumatra Menanggung Beban Sunyi yang Berat

Jum'at, 05 Desember 2025 | 17:21 WIB
Di Balik Senyum di Posko Pengungsian, Perempuan Sumatra Menanggung Beban Sunyi yang Berat
Ilustrasi Perempuan di Balik Bencana Sumatra. (Suara.com)
Baca 10 detik
  • Menteri PPPA Arifah Fauzi menyoroti perempuan sebagai kelompok yang paling membutuhkan pendekatan trauma berkelanjutan pascabencana Sumatra.
  • Perempuan memikul beban ganda dalam penanganan logistik dan pengasuhan anak, sering menjadi kelompok terakhir menerima layanan.
  • Penting segera menjalankan layanan trauma *healing* dan psikososial bagi penyintas untuk membangun resiliensi jangka panjang.

Studi menunjukkan bahwa perempuan sering tertinggal dalam akses layanan karena prioritasnya di rumah tangga dan tugas caregiving. 

Pasca melihat langsung ke lokasi bencana, Menteri PPPA Arifah menekankan Dinas setempat untuk berikan layanan trauma healing dan psikososial mulai dijalankan di posko pengungsian untuk perempuan dan anak. 

Upaya mitigasi risiko kekerasan berbasis gender dilakukan dengan mengaktifkan layanan pengaduan cepat dan menguatkan UPTD PPA di wilayah terdampak. 

Menjaga Harapan Tetap Menyala

Di antara tenda-tenda yang mulai memudar warnanya dan barisan pakaian yang dijemur seadanya, para penyintas tidak hanya berjuang untuk kebutuhan dasar. Makanan, air bersih, selimut, atau atap sementara memang penting, tetapi itu baru lapisan paling luar dari apa yang benar-benar dibutuhkan manusia setelah hidupnya diacak-acak bencana.

Psikolog Iqbal kembali mengingatkan bahwa penyintas membutuhkan ruang yang lebih dalam. Tempat aman untuk bercerita, terapi kelompok yang memungkinkan mereka saling menguatkan, aktivitas psikososial yang memulihkan rasa percaya diri. 

Mereka juga membutuhkan komunitas, lingkar solidaritas yang membuat seseorang merasa tetap menjadi bagian dari sesuatu, bahwa ia tidak benar-benar sendirian di tengah reruntuhan.

Informasi yang jelas dan mudah diakses juga menjadi kunci, bagaimana mengakses bantuan, bagaimana melindungi diri, bagaimana memahami kesehatan mental mereka sendiri. Dan yang tak kalah penting, fungsi keluarga harus kembali diperkuat. Keluarga adalah jangkar pemulihan—yang membuat seseorang kembali berdiri setelah dunianya terbalik.

Iqbal menyebut bahwa tujuan akhir dari semua pendampingan itu bukan hanya membuat penyintas sembuh sementara, Lebih dari itu, mereka harus kembali memiliki resiliensi jangka panjang, kemampuan untuk menghadapi hidup baru setelah kehilangan begitu banyak hal. 

Baca Juga: Bukan Stok Habis, Kelangkaan BBM di Aceh, Sumut, Sumbar Karena Akses Distribusi

“Bencana boleh merusak bangunan, tetapi jangan sampai meruntuhkan harapan dan martabat manusia," kata Iqbal.

Di balik reruntuhan dan genangan, ada kekuatan yang tak terlihat: perempuan yang bertahan, anak-anak yang bermain, dan komunitas yang saling menopang. Bencana mungkin merusak rumah dan harta, tapi harapan, resiliensi, dan keberanian manusia tetap hidup—menjadi cahaya yang menuntun mereka bangkit dan melangkah lagi.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI