- Kepala Adat Tarsisius Fendy Sesupi ditetapkan tersangka setelah memprotes deforestasi PT Mayawana Persada di Ketapang.
- Kasus ini berawal dari tuntutan sanksi adat atas deforestasi 40 ribu hektare oleh perusahaan sejak 2023.
- Koalisi Masyarakat Sipil mendampingi Fendy, menuntut penghentian kriminalisasi dan rencana mengajukan praperadilan.
Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Konflik Mayawana bersama Koalisi Advokasi Masyarakat Adat mendampingi Tarsisius Fendy Sesupi, Kepala Adat Dusun Lelayang, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, yang memenuhi panggilan Polres Ketapang pada Senin, 15 Desember. Kehadiran koalisi tersebut merupakan bentuk solidaritas terhadap Fendy yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Koalisi menilai pemanggilan dan penetapan status hukum terhadap Fendy merupakan upaya kriminalisasi terhadap pembela lingkungan dan masyarakat adat. Kasus ini berawal dari perjuangan Fendy bersama masyarakat adat Dayak Kualan yang memprotes deforestasi besar-besaran oleh PT Mayawana Persada.
Pada 2023, konsesi kayu PT Mayawana Persada dilaporkan melakukan deforestasi seluas sekitar 40 ribu hektare. Aktivitas tersebut dinilai telah merampas habitat kunci orangutan serta mengganggu sumber kehidupan masyarakat adat setempat. Perusahaan ini juga teridentifikasi sebagai pembalak hutan terbesar di Indonesia sepanjang 2021 hingga 2023.
Pada Desember 2023, Fendy dan masyarakat adat menuntut penerapan sanksi batang adat atau tebusan adat terhadap perusahaan. Tuntutan tersebut diajukan karena perusahaan dianggap memicu konflik, menggusur lahan, serta merugikan perekonomian warga. Pengenaan sanksi adat itu juga merupakan kelanjutan dari sanksi adat sebelumnya yang belum dipatuhi oleh PT Mayawana Persada.
Dalam tuntutan adat tersebut, masyarakat meminta sejumlah perlengkapan adat seperti tempayan, piring, mangkok, dan peralatan lain untuk keperluan upacara adat. Namun pihak perusahaan memilih mengganti tuntutan tersebut dalam bentuk uang dengan alasan tidak dapat menyediakan peralatan yang diminta. Kesepakatan penggantian uang itu kemudian dituangkan dalam berita acara bersama.
Meski demikian, perusahaan justru membingkai peristiwa tersebut sebagai tindakan pemerasan. Pada Juni 2025, Polres Ketapang memanggil Fendy sebagai saksi atas dugaan tindak pidana Pasal 368 ayat (1) KUHP dan Pasal 335 ayat (1) KUHP terkait pemerasan dan pemaksaan dengan kekerasan dan/atau ancaman kekerasan.
Koalisi menilai penetapan Fendy sebagai tersangka sarat pelanggaran prosedur hukum. Pasalnya, Fendy dan kuasa hukumnya disebut tidak pernah menerima panggilan penyidik sebelum secara tiba-tiba Fendy ditetapkan sebagai daftar pencarian orang (DPO).
“Pemanggilan ini jelas merupakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang sejak awal menolak kehadiran perusahaan. Padahal, mereka yang mengalami dampak deforestasi, degradasi kawasan hidrologi gambut dan semua kerusakan struktur maupun fungsi ekosistem hutan, serta penggusuran lahan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat secara turun temurun,” ujar Ahmad Syukri, perwakilan Koalisi
Masyarakat Sipil melalui keterangan tertulis yang diterima suara.com, Selasa (16/12/2025).
Aksi solidaritas juga digelar masyarakat di halaman Mapolda Kalimantan Barat, Pontianak. Dalam aksi tersebut, massa menuntut pengosongan wilayah konflik serta penghentian seluruh aktivitas perusahaan di area yang disengketakan. Koalisi menilai kriminalisasi terhadap masyarakat adat merupakan ancaman serius bagi demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Baca Juga: 15 WN China Serang TNI di Area Tambang Emas Ketapang: 5 Fakta dan Kondisi Terkini
Atas desakan koalisi, penahanan terhadap Fendy saat ini ditangguhkan. Sementara itu, tim kuasa hukum Fendy dari Koalisi Masyarakat Adat berencana mengajukan praperadilan atas penetapan status tersangka tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat menegaskan akan terus melanjutkan upaya advokasi dan kampanye untuk memastikan PT Mayawana Persada menghentikan praktik bisnis yang dinilai menyebabkan deforestasi, degradasi kawasan gambut, serta mengancam habitat orangutan. Koalisi juga menuntut perusahaan untuk memulihkan semua kerusakan sumber daya hutan maupun kerusakan ekologi yang timbul, memulihkan kembali hak masyarakat atas tanah dan sumber daya hutannya serta menghentikan semua tindakan kriminalisasi yang mengorbankan masyarakat.