DPR Apresiasi Peta Jalan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Negara Diminta Buka Tabir Kebenaran

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:03 WIB
DPR Apresiasi Peta Jalan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Negara Diminta Buka Tabir Kebenaran
Anggota Komisi XIII DPR RI fraksi PKB, Mafirion. (tangkapan layar/Bagaskara)
Baca 10 detik
  • Anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion, menyambut baik peluncuran Peta Jalan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat oleh Kementerian HAM pada Rabu (17/12/2025).
  • Peta jalan tersebut harus menjadi instrumen kunci pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi 12 kasus HAM berat masa lalu.
  • Penyelesaian konkret harus mencakup pemrosesan pelaku sesuai hukum serta pemulihan menyeluruh bagi lebih dari 7.000 korban teridentifikasi.

Suara.com - Anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion, menyambut baik langkah Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) yang meluncurkan Peta Jalan Menuju Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat. 

Menurutnya, inisiatif ini harus menjadi momentum nyata bagi negara untuk menyelesaikan beban sejarah yang belum tuntas.

Ia menegaskan, bahwa peta jalan tersebut tidak boleh sekadar menjadi dokumen administratif, melainkan harus menjadi kunci pembuka fakta atas peristiwa kelam di masa lalu.

"Kami mengapresiasi peluncuran peta jalan ini. Namun yang lebih penting, peta jalan harus benar-benar menjadi instrumen untuk mengungkap kebenaran dan menghadirkan keadilan. Negara tidak boleh lagi menunda pengungkapan pelanggaran HAM berat masa lalu. Tabir kebenaran harus dibuka,” ujar Mafirion kepada wartawan, Rabu (17/12/2025).

Legislator PKB ini menilai kehadiran peta jalan tersebut merupakan sinyal positif bahwa negara berupaya memastikan jaminan hak asasi setiap warga negara, sekaligus wujud komitmen pemerintah dalam menunaikan kewajiban konstitusional dan moral terhadap korban serta penyintas.

Hal ini juga mencerminkan posisi Indonesia yang telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, seperti Deklarasi Universal HAM (DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), hingga Konvensi CEDAW.

“Secara nasional, hal ini sejalan dengan UUD 1945 yang menjamin hak-hak dasar warga negara dan mewajibkan negara untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati HAM,” katanya.

Kekinian, terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang masuk dalam peta jalan tersebut, meliputi peristiwa 1965–1966, Talangsari 1989, penembakan misterius (Petrus) 1982–1985, kerusuhan Mei 1998 (termasuk Trisakti, Semanggi I, dan II), penghilangan paksa 1997–1998, Simpang KKA Aceh 1999, peristiwa santet Banyuwangi 1998, Wasior 2001, Jambu Keupok Aceh 2003, Rumah Geudong Aceh 2001–2002, serta Wamena 2003.

Terkait hal itu, Mafirion mewanti-wanti agar pengakuan negara tidak berhenti pada tataran simbolik semata.

Baca Juga: DPR Ajak Publik Kritisi Buku Sejarah Baru, Minta Pemerintah Terbuka untuk Ini...

"Pengakuan ini harus dibarengi dengan langkah penyelesaian yang konkret. Pelaku yang bertanggung jawab harus diproses sesuai hukum, dan pemulihan terhadap korban serta penyintas wajib dilakukan secara menyeluruh dan berkeadilan,” tegasnya.

Ia juga menyoroti data Kementerian HAM yang menunjukkan kesenjangan dalam pemulihan korban. Dari lebih dari 7.000 korban yang teridentifikasi, baru sekitar 600 orang yang telah mendapatkan pemulihan.

“Angka ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah negara masih sangat besar. Peta jalan harus menjawab kesenjangan ini, bukan justru menormalisasi lambannya penyelesaian,” katanya.

Ia berharap peta jalan ini menjadi panduan kerja yang terukur, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekadar dokumen kebijakan tanpa tindak lanjut.

“Peta jalan ini harus memuat tahapan, target waktu, serta mekanisme evaluasi yang transparan agar publik bisa mengawasi prosesnya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Mafirion meminta sinergi dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari Kementerian HAM, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, hingga Mahkamah Agung.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI