- Musik Indonesia Timur, ditandai dengan lirik daerah dan irama cepat, berhasil viral secara global di platform digital seperti TikTok dan Instagram.
- Lagu Tabola Bale viral setelah rilis 3 April 2025, meraih jutaan penayangan dan bahkan diputar pada perayaan HUT RI ke-80 di Istana Negara.
- Agar musik lokal menjadi kekuatan budaya global seperti K-pop, diperlukan investasi besar, riset berkelanjutan, dan ekosistem industri yang terencana.
Suara.com - Dentuman beat cepat, lirik berbahasa daerah, dan irama yang mengajak tubuh ikut bergerak—siapa sangka kombinasi ini justru menjadi senjata rahasia musik Indonesia Timur menembus arus utama global. Dari Pica Pica hingga Tabola Bale, lagu-lagu yang dulu hanya akrab di lingkar lokal kini bertransformasi menjadi sound wajib di TikTok, Instagram Reels, dan YouTube, melampaui batas bahasa dan geografis.
Viralitasnya bukan sekadar soal algoritma, melainkan bukti bahwa musik dengan akar budaya kuat bisa berbicara ke siapa saja, di mana saja.
Ambil contoh Tabola Bale, pertama kali muncul dan dirilis pada 3 April 2025 oleh Silet Open Up bersama Jacson Zeran, Juan Reza, dan Diva Aurel, dan langsung viral di TikTok serta menjadi fenomena budaya, bahkan diputar di HUT RI ke-80 di Istana Negara,
Hingga saat ini, telah meraih lebih dari 241 juta views di YouTube serta dipakai nyaris 9 juta kali sebagai sound di TikTok dan 1,6 juta kali di Instagram Reels, angka yang menandakan viralitas luar biasa sebuah karya lokal di tengah konten digital global.
Lebih dari sekadar tren sesaat, fenomena ini bahkan menjalar ke panggung internasional. Tabola Bale sempat masuk peringkat 5 video musik teratas secara global di YouTube, bersaing dengan nama–nama besar dunia di tangga musik online.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan lebih besar, apakah musik dari Indonesia Timur hanya akan menjadi tren sesaat, atau justru awal dari kekuatan budaya baru? Seperti K-pop yang berangkat dari lokalitas Korea lalu menjelma jadi soft power global.

Musik sebagai Bahasa Universal
Menurut Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo, daya tarik musik Indonesia Timur terletak pada elemen paling mendasar dalam musik itu sendiri. Yakni, irama, rima, dan ritme.
Lagu-lagu seperti Pica Pica, Tabola Bale, hingga Tor Monitor Ketua menawarkan pola bunyi yang mudah melekat, enak diucapkan, dan mengundang tubuh untuk ikut bergerak, bahkan bagi pendengar yang tidak memahami arti liriknya.
Baca Juga: EXO Rilis Musik Video I'm Home, Balada Musim Dingin Penuh Kehangatan
Fenomena ini, menurutnya, tidak unik terjadi pada musik Indonesia Timur.
"Banyak lagu-lagu Spanyol, Korea yang kita juga gak tahu, kebanyakan masyarakat Indonesia gak tahu artinya tapi banyak juga yang suka. Menurut saya itu membuktikan musik adalah bahasa universal tanpa kita bisa paham musiknya," jelas Kunto.
Dalam konteks ini, viralnya musik Indonesia Timur menunjukkan bagaimana kekuatan musikal bukan sekadar bahasa, tapi juga mampu menembus batas budaya.
Dari Viral Menjadi Diplomasi Budaya, Bisakah?
Dilihat dari pola tersebut, musik dari wilayah timur itu disebut bisa saja menjadi alat diplomasi Indonesia dengan negara tetangga.
Kendati begitu, Kunto menilai jalan musik Indonesia Timur, bahkan musik Indonesia secara umum, untuk menjadi soft power global seperti K-pop masih panjang. Menurutnya, K-pop bukan sekadar genre musik, melainkan hasil dari ekosistem industri yang matang dan terencana.
“K-pop itu bukan hanya soal membuat musik. Di dalamnya ada riset visual, riset koreografi, pembentukan pesona dan branding setiap anggota grup, sampai kampanye komunikasi yang luar biasa,” jelasnya.
Industri tersebut dibangun melalui investasi besar dan berlapis, mulai dari riset pasar hingga pengelolaan citra budaya Korea Selatan di tingkat global.
Jika Indonesia ingin mendorong musik sebagai kekuatan budaya dunia, maka pendekatannya tak bisa hanya bergantung pada viralitas. Kunto menyampaikan, perlu adanya investasi serius. riset yang berkelanjutan, penguatan ekosistem industri kreatif, serta strategi branding budaya yang konsisten di kancah internasional.
"Bisa saja diplomasi budaya tapi investasinya juga harus besar. Ada investasi riset, investasi bikin ekosistem industri, investasi untuk membuat budaya memang punya brand di dunia internasional," katanya.
Di titik inilah musik Indonesia Timur berada di persimpangan, antara terus bergerak sebagai gelombang viral yang organik, atau melangkah lebih jauh sebagai proyek kebudayaan yang disokong strategi dan ekosistem jangka panjang.
Pada akhirnya, viralnya lagu-lagu Indonesia Timur ini adalah penanda penting bahwa musik lokal dengan akar budaya kuat punya potensi berbicara ke dunia. Namun, untuk melangkah sejauh K-pop, viralitas saja belum cukup. Dibutuhkan ekosistem industri yang serius, investasi berkelanjutan, riset, serta strategi branding budaya yang konsisten agar kekuatan lokal ini tidak berhenti sebagai tren sesaat.