- Era SBY membangun sistem penanganan bencana institusional melalui UU No. 24 Tahun 2007 dan BNPB pasca-Tsunami Aceh.
- Presiden Prabowo menunjukkan respons cepat dengan fokus eksekusi logistik taktis di lapangan menggunakan struktur yang ada.
- Perbedaan kunci terletak pada penetapan status bencana nasional, yang mempengaruhi alokasi anggaran dan dinamika narasi publik.
Titik Kunci: Pilihan Status 'Bencana Nasional'

Perbedaan paling mendasar dari kedua era ini terletak pada keputusan penetapan status bencana. SBY memilih menetapkan Tsunami Aceh sebagai bencana nasional, sementara Prabowo, dalam kasus banjir Sumatra, tidak mengambil langkah tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, ini adalah pilihan strategis yang memiliki konsekuensi berbeda.
"Bagi saya, soal bencana nasional atau tidak itu pilihan lain dari masing presiden. Yang jelas pilihan dari sikap itu tentu ada untung dan ruginya," ujar Arifki kepada Suara.com, Jumat (19/12/2025).
Di zaman SBY, penetapan status bencana nasional untuk Tsunami Aceh mempercepat proses pemulihan secara masif dengan dukungan penuh anggaran pusat dan dunia internasional.
Hal itu berdampak langsung pada tingkat kepuasan publik yang melihat adanya perbaikan cepat dan berskala besar.
"Di zaman SBY karena menjadikan Tsunami Aceh sebagai bencana nasional proses recovery tentu lebih cepat," ucap Arifki.
Sebaliknya, di era Prabowo, keputusan untuk tidak menetapkan status bencana nasional untuk musibah di tiga provinsi sekaligus menciptakan dinamika baru.
Pemerintah ditantang untuk membuktikan bahwa tanpa status tersebut, penanganan tetap bisa berjalan efektif. Namun, pilihan ini membuka ruang bagi "pertarungan narasi" di ranah publik.
Baca Juga: Kayu Gelondongan Sisa Banjir Sumatra Mau Dimanfaatkan Warga, Begini Kata Mensesneg
"Di era Prabowo... terjadi pertarungan narasi di ruang publik antara masyarakat yang ingin bencana nasional. Selain itu, ada juga influencer yang bergerak dalam pertarungan persepsi donasi dengan pemerintah," kata Arifki.
Pada akhirnya, pertarungan ini bukan sekadar soal label. Publik modern kini ikut mengawasi, membandingkan, dan bahkan menjadi alternatif penyaluran bantuan melalui gerakan-gerakan donasi yang digalang para influencer.
Pemerintah tidak hanya dituntut untuk bekerja cepat, tetapi juga harus mampu memenangkan kepercayaan publik di tengah riuhnya arus informasi.
Bagi masyarakat terdampak, perdebatan ini mungkin tidak terlalu penting. Yang mereka butuhkan adalah kepastian bantuan dan kecepatan pemulihan.
Sebagaimana disimpulkan Arifki, pada akhirnya yang terpenting adalah hasil akhir dari sebuah kebijakan.
"Asalkan kebijakan yang dibuat memberikan keuntungan terhadap masyarakat," katanya.
