Prabowo dan Fenomena 'Strongman': Refleksi Citra Kepemimpinan di Panggung Global dan Domestik

Chandra Iswinarno Suara.Com
Senin, 13 Oktober 2025 | 16:22 WIB
Prabowo dan Fenomena 'Strongman': Refleksi Citra Kepemimpinan di Panggung Global dan Domestik
Presiden Prabowo Subianto bersama Presiden Vladimir Putin, Xin Jinpin dan Kim Jong Un di Beijing, China pada September lalu. [Ist]
Baca 10 detik
  • Kehadiran Prabowo bersama strongman global menegaskan citra pemimpin kuat, memicu diskusi tentang gaya kepemimpinannya.

  • Gaya strongman resonan di Indonesia, namun berisiko melemahkan demokrasi dan inklusivitas politik.

  • Prabowo dihadapkan pada pilihan: strongman otoriter atau pemimpin kuat yang mendengarkan dan kolaboratif.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti (2025) menilai pola komunikasi Pemerintahan Prabowo cenderung elitis dan tidak transparan. Sejumlah kebijakan besar diumumkan secara sepihak, tanpa partisipasi publik yang berarti.

Dalam konteks demokrasi, ini mengkhawatirkan: semakin besar peran figur tunggal, semakin lemah fungsi pengawasan dan keseimbangan antar-lembaga negara.

Kabinet Prabowo juga menunjukkan kecenderungan lama. Setelah keluarnya Sri Mulyani, hanya empat perempuan tersisa di jajaran menteri.

Kehadiran perempuan memang bukan satu-satunya tolok ukur inklusivitas, namun ketimpangan ini memperlihatkan masih kuatnya nilai patriarkal dalam distribusi kekuasaan politik di Indonesia.

Daya Tarik Strongman

Fenomena Prabowo bukan hal unik. Dunia tengah menyaksikan kembalinya politik strongman, dari Trump di Amerika, Putin di Rusia, hingga Modi di India.

Figur semacam ini sering hadir sebagai “penyelamat bangsa” di tengah krisis sosial dan kekecewaan publik terhadap birokrasi demokratis yang dianggap lamban dan berisik.

Namun, daya tarik itu menyimpan paradoks. Kepemimpinan yang terlalu berpusat pada satu figur sering kali mengikis deliberasi publik dan melemahkan institusi.

Ketika semua keputusan bergantung pada kehendak seorang pemimpin, demokrasi berubah menjadi ritual formal tanpa substansi.

Baca Juga: Prabowo Siap Kerahkan 20 Ribu Pasukan Perdamaian ke Gaza, MPR Beri Respons Begini

Menuju Kepemimpinan Inklusif

Studi-studi kepemimpinan menunjukkan efektivitas tidak ditentukan oleh jenis kelamin atau gaya keras semata.

Eagly dan Carli (2011) misalnya, menemukan bahwa pemimpin perempuan cenderung lebih kolaboratif dan empatik, sedangkan laki-laki lebih asertif. Namun, yang menentukan keberhasilan justru konteks, integritas, dan kemampuan mendengar.

Kepemimpinan yang inklusif tidak berarti lemah. Sebaliknya, ia memanfaatkan kekuasaan untuk memperluas partisipasi dan membangun kepercayaan.

Coalition of Feminists for Social Change (2021) menekankan bahwa model kepemimpinan seperti ini lebih adaptif menghadapi krisis sosial karena mendorong transparansi dan akuntabilitas.

Tantangan terbesar Prabowo bukan hanya menegaskan posisi Indonesia di dunia, tetapi membuktikan bahwa kekuatan tidak harus identik dengan dominasi.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI