Suara.com - Di tengah gelapnya malam di sebuah pedesaan Sulawesi Selatan, suara mesin mobil sedan Profesor Masyihat terdengar berderak.
Jalan berbatu besar menghadang, memaksa mobil yang mereka tumpangi berhenti.
Gus Dur hanya tersenyum, memandang Nasaruddin Umar yang duduk di sebelahnya.
"Sepertinya kita harus mencoba lagi nanti," ujar Gus Dur dengan nada ringan.
Itu adalah kali pertama mereka mencoba menziarahi makam Syekh Jamaluddin, sosok yang Gus Dur yakini sebagai guru sejati para Wali Songo.
Namun medan menuju Tosora, Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo, tempat makam itu berada, tidak bersahabat.
Batu sebesar kepala manusia berserakan, membuat sedan mereka menyerah.
Tak lama setelah perjalanan pertama yang gagal, mereka kembali lagi, kali ini dengan persiapan lebih matang.
Sebuah jeep disiapkan, kendaraan tangguh yang akhirnya membawa mereka menembus medan berat menuju makam yang saat itu nyaris terlupakan.
Baca Juga: Kyai Mahal? Gus Miftah Ngaku Rambutnya Pernah Ditawar Seharga Alphard
Gus Dur tetap tenang sepanjang perjalanan, seperti sudah tahu bahwa mereka akan berhasil.
Ketika akhirnya sampai di makam Syekh Jamaluddin, Gus Dur duduk berlama-lama di sana.
"Inilah guru sejati dari para Wali Songo," katanya lirih.
Pernyataan itu membekas di hati Nasaruddin Umar, meskipun ia tidak pernah tahu bagaimana Gus Dur mendapatkan informasi itu.
Seakan-akan, Gus Dur memiliki akses ke sumber-sumber hikmah yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang terhubung dengan dunia spiritual.
Tak lama setelah kunjungan itu, cerita tentang makam Syekh Jamaluddin mulai menyebar. Para peziarah dari berbagai daerah berdatangan, bahkan hingga ke negeri tetangga seperti Malaysia.