Suara.com - Bayangkan sebuah drama yang tak terduga di Gerbang Tol Parungkuda, Sukabumi. Sirine meraung-raung membelah kepadatan arus mudik, namun kali ini bukan untuk menyelamatkan nyawa - melainkan untuk menyelamatkan waktu perjalanan sekelompok pemudik kreatif yang sayangnya salah arah.
Kisah ini bermula dari postingan akun Instagram @lambe_turah dimana sebuah ambulans yang melaju dengan gagah berani di jalur kanan, lengkap dengan sirine yang memekakkan telinga.
Mungkin orang awam mengiranya ambulans tersebut membawa pasien yang sedang dalam keadaan kritis. Namun, mata jeli petugas kepolisian tak bisa ditipu.
Mereka menangkap gelagat mencurigakan pada ambulans yang melintas di tol tersebut.. Alih-alih membawa pasien kritis, ambulans ini justru mengangkut "pasien mudik" yang mencari jalan pintas menghindari kemacetan.
Sungguh ironis, bukan? Kendaraan yang dirancang untuk menjadi malaikat penyelamat di saat-saat kritis, kini diubah menjadi "taksi VIP" dadakan. Ini bukan sekadar pelanggaran lalu lintas biasa - ini adalah cermin buram dari krisis moral yang lebih dalam.
Pelaku pun hanya bisa tersenyum saat petugas kepolisian memberhentikan kendaraannya. Ia dan penumpang di dalamnya seolah tak merasa bersalah.
Insiden ini bisa membawa dampak domino yang ditimbulkan: kepercayaan publik yang terkikis dan yang paling menyedihkan - potensi tertundanya pertolongan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan darurat.
Setiap detik yang terbuang karena skeptisme publik terhadap ambulans bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati.
Aturan Penggunaan Ambulans di Indonesia
Baca Juga: 1,9 Juta Kendaraan Tinggalkan Jakarta Selama Masa Mudik Lewat 4 Gerbang Tol Ini
Penggunaan ambulans di Indonesia diatur secara ketat dalam beberapa regulasi:
1. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ambulans termasuk dalam kategori kendaraan dengan hak utama yang harus didahulukan di jalan.
Setiap pengguna jalan wajib memberikan prioritas kepada ambulans yang sedang dalam kondisi darurat, seperti membawa pasien kritis atau menjalankan tugas penyelamatan.
Menghalangi laju ambulans bukan hanya tindakan tidak etis, tetapi juga bisa membahayakan nyawa seseorang yang membutuhkan pertolongan cepat.
Selain itu, penyalahgunaan ambulans, seperti menggunakannya untuk kepentingan pribadi atau tanpa alasan darurat, dapat dikenakan sanksi pidana.
2. Permenkes No. 47 Tahun 2018
- Ambulans harus memenuhi standar teknis dan spesifikasi khusus
- Wajib dilengkapi peralatan medis sesuai klasifikasi
- Harus dioperasikan oleh tenaga medis terlatih
3. Sanksi Penyalahgunaan
- Pidana kurungan maksimal 1 tahun
- Denda maksimal Rp 24 juta
- Pencabutan izin operasional ambulans
- Sanksi administratif bagi institusi terkait
4. Ketentuan Operasional
- Penggunaan sirine hanya untuk kondisi darurat medis
- Wajib membawa surat tugas atau dokumen rujukan pasien
- Harus ada tenaga medis pendamping saat mengangkut pasien
- Dilarang menggunakan ambulans untuk kepentingan pribadi atau komersial
Dengan adanya aturan yang jelas ini, seharusnya tidak ada lagi celah untuk menyalahgunakan ambulans sebagai "kendaraan taktis" saat mudik. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten menjadi kunci untuk mencegah kejadian serupa terulang di masa mendatang.
Kasus ini bagaikan alarm keras yang membangunkan kita dari tidur panjang. Sudah saatnya sistem pengawasan ambulans diperkuat, sanksi tegas ditegakkan, dan yang terpenting - kesadaran kolektif kita sebagai masyarakat dipertajam.
Ambulans bukan sekadar kendaraan bersirine - ia adalah simbol harapan bagi mereka yang berjuang antara hidup dan mati. Ketika kita menyalahgunakan ambulans, kita tidak hanya melanggar hukum, tapi juga mengkhianati kepercayaan suci yang diberikan masyarakat pada kendaraan penyelamat ini.
Mari jadikan kasus ini sebagai titik balik. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk berbenah. Karena di ujung sirine ambulans yang meraung, mungkin ada nyawa yang sedang menunggu pertolongan.