Suara.com - Malnutrisi dan gizi buruk merupakan masalah utama bagi kesehatan, yang bisa dicegah dengan menjaga ketahanan pangan,
Untuk itu ketahanan pangan dengan memberdayakan keluarga petani menjadi kunci untuk mencegah terjadinya kelaparan, malnutrisi, hingga gizi buruk di Asia Tenggara.
Inovasi akses ke kredit pedesaan dan peningkatan program perlindungan sosial pedesaan adalah langkah pertama untuk membantu keluarga petani di Asia Tenggara dalam meningkatkan mata pencaharian dan ketersediaan pangan, ungkap Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) hari ini.
Perwakilan dari negara-negara Asia Tenggara Plus (ASEAN Plus) bertemu di Jakarta untuk membahas langkah-langkah untuk membantu petani kecil mewujudkan ketahanan pangan yang lebih baik dan meningkatkan mata pencaharian mereka. Pertemuan tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia ini dilakukan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Nol Kelaparan (TPB/SDG-2) sebelum 2030.
Pertanian keluarga menghasilkan sebagian besar makanan yang sampai ke meja makan kita. Mereka menghasilkan 80 persen dari makanan dunia dan merupakan sumber pekerjaan terbesar, namun sebaliknya banyak dari keluarga petani sendiri mengalami rawan pangan dan sangat miskin.
Negara-negara Asia Tenggara bergabung untuk meningkatkan kesadaran dalam Dekade Pertanian Keluarga 2019 - 2028. Di Asia Tenggara, sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh petani kecil yang memiliki lahan pertanian kurang dari lima hektar.
Di Indonesia, bahkan lebih kecil lagi, sebagian besar pertanian mengolah lahan kurang dari satu hektar. Pertanian keluarga juga mencakup nelayan, peternak, dan orang-orang yang bergantung pada hutan untuk makanan dan mata pencaharian mereka.
Masyarakat miskin pedesaan, terutama pertanian keluarga, menghadapi kesulitan besar dalam mengakses kredit, layanan, teknologi, dan pasar yang memungkinkan mereka meningkatkan produktivitas sumber daya alam dan tenaga kerja mereka. Perempuan pedesaan juga amat dipengaruhi oleh situasi yang tidak menguntungkan ini.
Sebagian besar pekerjaan yang tersedia di pertanian memiliki hubungan dengan pendapatan yang rendah dan tidak stabil, kondisi keselamatan dan kesehatan yang buruk, ketidaksetaraan gender dalam upah dan juga peluang kerja, serta perlindungan sosial yang terbatas.
Karena kurangnya akses ke pelatihan, layanan keuangan, dan penyuluhan dan fasilitas pemrosesan, prospek yang menarik seringkali lebih terbatas di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan dan, sebagai hasilnya, berkontribusi pada perubahan populasi dari desa ke kota.
Baca Juga: FAO Apresiasi Kementan yang Mampu Jaga Ketahanan Pangan Nasional
"Mari kita perjelas, saat kita berbicara tentang bertani di Asia Tenggara, kita membicarakan pertanian keluarga. Memberdayakan pertanian keluarga dan keluarga petani, akan membantu mengatasi akar penyebab kerawanan pangan dan kekurangan gizi di wilayah ini,” kata Kundhavi Kadiresan, Asisten Direktur Jenderal FAO dan Perwakilan Regional untuk Asia dan Pasifik, dalam siaran pers yang diterima Suara.com.
Kundhavi membuat pernyataan saat sesi pembukaan Konferensi Regional tentang Penguatan Ketahanan Pangan, Nutrisi, dan Kesejahteraan Petani Asia Tenggara melalui Dekade Pertanian Keluarga PBB.

Dalam pertanian keluarga, aktivitasnya memperlihatkan hubungan erat antara produksi pertanian dengan keluarga, sekolah dan masyarakat. Aktivitas ini berdasarkan pengetahuan lokal. Hal ini menopang produktivitas pada lahan marginal, dan memberi konsumen lokal makanan segar, termasuk unggas, ternak, ikan, buah-buahan dan sayuran, bersama dengan makanan pokok lainnya. Komponen-komponen ini cukup penting untuk mencapai nutrisi yang baik.
Menyadari peran sentral pertanian keluarga, Majelis Umum PBB telah secara resmi mendeklarasikan 2019-2028 sebagai Dekade Pertanian Keluarga. Resolusi tersebut mengakui petani keluarga sebagai kunci dalam mengejar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dunia, khususnya dalam menjami, keamanan pangan global, memberantas kemiskinan, mengakhiri kelaparan, melestarikan keanekaragaman hayati, mencapai lingkungan yang lestari, dan membantu mengatasi migrasi.
Banyak negara di dunia telah membuat kemajuan dalam mengembangkan kebijakan publik yang mendukung pertanian keluarga. Terutama dalam berbagi pengetahuan dan data yang berkontribusi pada tataran dialog dan pembuatan kebijakan dalam mengatasi kebutuhan spesifik pertanian keluarga.
"Ada tantangan besar di mana kebijakan perlu dibuat untuk berbagai aspek terkait pertanian keluarga termasuk perubahan iklim, gender, pemuda dan pekerjaan yang layak," kata Kadiresan.