Ia menuturkan, pengembangan riset dan penyelenggaraan Stem cell di Indonesia insyaAllah tidak kalah dibandingkan di luar negeri.
“Perkembangan Stem Cell sudah cukup maju, baik di bidang riset maupun untuk regulasi. Di bidang riset tidak hanya di laboratorium tapi juga sudah banyak yang uji klinis, penelitian berbasis pelayanan. Kemenkes juga sudah ada komite nasional stem cell Indonesia, dikawal oleh peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur bagaimana pelaksanaan stem cell di Indonesia, mulai dari perizinan lab nya, penelitiannya, pelayanan yang standar, sudah diatur semua,” papar dr Purwati.
Menurutnya, dari tahun ke tahun, lab yang memiliki izin juga sudah banyak, riset bertambah banyak, sehingga Indonesia tidak kalah kompetitif dengan negara lain. “Ada 13 rumah sakit yang ditetapkan Kemenkes untuk penelitian berbasis pelayanan penyelenggaraan stem cell, bisa juga di faskes lain seperti klinik utama, rumah sakit tipe B, C asal punya jejaring dengan rumah sakit yang sudah ditetapkan,” ungkap dr Purwati.
Ia menjelaskan, stem cell teknik dasarnya adalah untuk meregenerasi jaringan, mengeluarkan hormon-hormon yang bagus untuk anti peradangan lalu digunakan untuk degenerative disease, kemudian untuk cancer. Degeneratif disease sendiri termasuk diabetes tipe 2, stroke, Parkinson, penyakit jantung, penyakit tulang, hingga autoimun yang belakangan ini menempati ranking 3 dunia setelah cancer dan jantung.
“Autoimun terjadi karena beberapa faktor diantaranya karena sistem imun tubuh salah mengenali benda sendiri dianggap benda asing, jadi misalnya kena ginjal karena ada sel-sel ginjal yang dianggap benda asing sehingga dirusak. Disini dengan stem cell diregulasi system imunnya agar system tersebut tidak menghantam sendiri. Penanganan pasien autoimun dengan stem cell improvement nya bagus yaitu 70% persen ke atas dan ini sudah kita publikasi di jurnal Internasional,” terang dr Purwati.
Ia menambahkan, Indonesia sendiri cukup kompetitif dengan negara lain dalam hal stem cell dan bisa setara dengan Jerman, Swiss, China, Korea. Jika diterapkan di Indonesia, biaya stem cell hanya seperlima sampai seperdelapan dari negara-negara tersebut.
“Semoga berbagai hasil riset yang telah terdaftar sebagai Kekayaan Intelektual di atas dapat memberikan manfaat di dunia kesehatan baik untuk pasien maupun untuk dokter dan faskes yang memberikan pelayanan, dan pelayanan stem cell diharapkan mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” pungkas dr Purwati.