Suara.com - Penipuan di internet yang dilakukan melalui cara-cara social engineering - seperti yang menimpa artis Maia Estianty dan seorang pengemudi Gojek pekan lalu - akan semakin marak terjadi di Indonesia pada 2020.
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Doktor Pratama Persadha menyebut social engineering atau rekayasa sosial lewat internet atau jaringan telekomunikasi akan tetap tinggi pada 2020.
"Kaspersky menyatakan bahwa ada 14 juta upaya phishing hanya di Asia Tenggara sepanjang paruh pertama 2019, bahkan sebagian besar menyasar Indonesia," kata Pratama Persadha, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (31/12/2019.
Kasus dengan modus social engineering ini pada pekan lalu dilaporkan menimpa Maia Estianty dan seorang pengemudi Gojek. Dalam insiden itu, penipu berhasil merampas akun seorang mitra Gojek dan memanfaatkannya untuk menipu Maia agar menyerahkan data-data pribadi kepada penipu.
Penipuan yang menimpa Maia Estianty berhasil dilakukan memanfaatkan fitur call forwarding dari operator seluler. Dalam kasus Gojek, Maia diminta mengetik nomor telepon penipu/tujuan dengan didahului oleh kode *21*. Akibatnya semua SMS dan panggilan telepon dialihkan ke nomor penipu.
Akibat penipuan itu saldo Gopay Maia Estianty dikuras dan penipu juga mencoba berbelanja di Tokopedia menggunakan kartu kredit manta istri artis Ahmad Dhany itu.
Menurut Pratama Persadha, kurang siap sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi ancaman siber dan digitalisasi menyebabkan Indonesia rentan.
Ancaman yang cukup serius bagi Indonesia pada tahun 2020, lanjut dia, adalah penggunaan data pribadi dan data lainnya, terutama setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).
PP PSTE mengatur tentang penempatan pusat data yang lebih fleksibel. Padahal, kata Pratama, pada saat bersamaan Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, sehingga kedaulatan data bangsa ini terancam.
Baca Juga: Bukan Aplikasi Gojek, Ini Fitur yang Buat Maia Estianty Tertipu
Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengutarakan bahwa aspek penguatan keamanan siber tidak hanya pada teknis, tetapi juga edukasi kepada masyarakat sehingga memperkecil peluang penipuan.
Ia juga mengemukakan terhadap IOT (internet of things) juga akan makin meningkat pada tahun 2020. Dengan makin marak perangkat terhubung satu sama lain, menurut Pratama, bisa menciptakan celah bagi penyerang untuk membajak perangkat ini untuk menyusup ke jaringan bisnis.
Karena itu, baik pihak perbankan, marketplace, maupun siapa pun yang berbisnis dengan internet dan aplikasi, kata Pratama, harus memperhatikan hal itu.
Di lain pihak, Pratama juga mengatakan bahwa ancaman terhadap kelangsungan Pilkada Serentak 2020 di Tanah Air juga bisa berasal dari wilayah siber.
Selain peretasan, kata dia, ancaman dari media sosial lewat hate speech (ujaran kebencian) dan hoaks juga sangat membahayakan berlangsungnya proses pilkada serentak.
"Penegakan hukum dan edukasi kepada masyarakat akan sangat membantu mengurangi ancaman terhadap pilkada serentak," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini pula.