Penyandang Autoimun di Tengah Aksi Borong Klorokuin saat Covid-19

BBC Suara.Com
Senin, 29 Juni 2020 | 06:30 WIB
Penyandang Autoimun di Tengah Aksi Borong Klorokuin saat Covid-19
[BBC].

Ia juga menjalani fisioterapi akibat kelumpuhan yang dialami setelah terserang stroke. Tes darah harus dilakukan setiap minggu dan fisioterapi tiga kali dalam seminggu.

"Sjogren's Syndrome menyebabkan kerusakan sendi-sendi. Jadi otomatis saya itu perlu fisioterapi rutin seminggu tiga kali. Terus saya punya autoimun APS yang menyebabkan saya mengalami kelainan darah.

Darah saya itu mengental dengan tidak normal, akibatnya saya sudah terkena stroke yang sudah terdeteksi terjadi dua kali. Nah, itu menyebabkan kelumpuhan, kelemahan separuh badan saya. Kebetulan kena otak kanan dulu, kemudian otak kiri. Otomatis perlu fisioterapi supaya saya bisa mengembalikan fungsi-fungsi syaraf saya yang rusak," kata perempuan yang tetap aktif sebagai konselor laktasi dan kesehatan ini.

Selama empat bulan masa PSBB, Monik terpaksa menghentikan total fisioterapi, termasuk mengunjungi tim dokternya.

"Berat, berat banget kondisinya buat kami. Akhirnya ada yang mencoba dengan metode video call, tapi mohon maaf tidak semua dokter mau melakukan hal tersebut. Saya mengerti banyak pemeriksaan yang harus melihat pasien karena kan harus dicek langsung," ujar Monik.

Sayangnya, kesulitan mengakses rumah sakit dan dokter, hanyalah satu dari sejumlah dampak pandemi Covid 19 bagi penyandang autoimun. Dampak lain yang disebut Monik "mengerikan" adalah kelangkaan obat.

Salah kaprah pemicu kelangkaan obat autoimun

Di awal mewabahnya virus corona, dua jenis obat antimalaria, hidroksiklorokuin dan klorokuin diklaim sejumlah ahli sebagai obat penyembuh penyakit Covid-19.

Klaim itu tersebar dan direspon publik Indonesia dengan memborong obat antimalaria tersebut.

Baca Juga: WHO Ultimatum Indonesia: Setop Beri Klorokuin ke Pasien Corona, Bahaya!

Aksi borong mengakibatkan kelangkaan obat antimalaria. Kalaupun ada, harganya meroket tak terkendali.

Padahal obat anti malaria itulah yang selama ini menjadi obat rutin para penyandang autoimun.

Akhirnya, bisa ditebak, penyandang autoimun kesulitan mendapatkan obat imunomodulator itu, di tengah terbatasnya akses ke rumah sakit sebagai jalan mendapatkan obat secara resmi melalui dokter.

"Satu bulan sebelum pengumuman dari pemerintah (yang menyatakan) sudah mengimpor obat itu, orang beli kayak beli parasetamol dan apotek-apotek itu kehabisan."

"Mereka (apotek) main kasih (obat klorokuin), tanpa resep, tanpa indikasi apapun, dikasih. Mereka belinya berdus-dus. Apakah dijual lagi atau apa, itu saya tidak paham karena itu terjadi di depan mata saya sendiri," ungkap Monik.

Mirisnya lagi, lanjut Monik, dua obat itu dijual bebas di internet dengan harga yang tidak masuk akal. Sebelum pandemi, satu dus klorokuin dengan dosis satu bulan dijual dengan harga Rp 600 ribu. Tapi saat ini, harganya bisa mencapai jutaan rupiah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI