Suara.com - Setiap tahun, Pulau Christmas di Samudra Hindia berubah menjadi lautan kepiting merah. Lebih dari 100 juta kepiting meninggalkan hutan tropis dan berjalan perlahan menuju pantai untuk bertelur, menciptakan pemandangan alam yang luar biasa dan menjadi daya tarik wisata utama pulau kecil milik Australia tersebut.
Fenomena migrasi kepiting merah tahunan ini tak hanya disukai wisatawan, tapi juga menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh warga setempat.
Bagi para peneliti konservasi, migrasi massal ini menandakan bahwa populasi kepiting merah kini telah pulih dengan baik setelah sebelumnya terancam punah akibat serangan spesies semut asing.
Menurut Brendon Tiernan, koordinator program spesies terancam dari Taman Nasional Pulau Christmas, jumlah kepiting merah kini meningkat tajam.
“Kami memang belum sepenuhnya menang dalam perang melawan semut kuning, tapi kemajuan yang kami capai luar biasa,” ujarnya, mengutip dari The Guardian (25/10/2025).
Pada awal 2000-an, populasi kepiting sempat menurun drastis karena serangan semut kuning gila (yellow crazy ants).
Serangga agresif itu menyemprotkan asam format ke arah kepiting yang lewat, membuatnya dehidrasi hingga mati.
Namun sejak tahun 2016, para ilmuwan memperkenalkan tawon mikro asal Malaysia untuk mengendalikan semut tersebut.
Tawon ini menargetkan serangga penghasil madu yang menjadi sumber makanan utama semut kuning. Hasilnya cukup efektif, populasi semut berkurang dan kepiting merah mulai pulih.
Kini, diperkirakan jumlah kepiting mencapai lebih dari 180 juta ekor, hampir dua kali lipat dibanding dua dekade lalu.
![Kepiting merah. [Freepik]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/10/21/59749-kepiting-merah.jpg)
Beberapa tahun terakhir bahkan disebut sebagai “masa emas” karena banyak bayi kepiting berhasil bertahan hidup dan kembali ke daratan.
Setiap tahun, migrasi dimulai ketika musim hujan pertama tiba, biasanya antara Oktober dan November. Air hujan menjadi sinyal bagi jutaan kepiting untuk meninggalkan hutan dan memulai perjalanan menuju pantai.
Menariknya, waktu kepiting betina bertelur selalu mengikuti siklus bulan. Mereka keluar dari lubang tanah dan melepaskan telur ke laut tepat sebelum bulan kuartal terakhir, biasanya menjelang fajar ketika air laut mulai surut.
Begitu telur menyentuh air, larva akan menetas dan hanyut di lautan selama sekitar sebulan. Sebagian besar larva menjadi santapan ikan, pari manta, dan hiu paus.
Hanya sedikit yang berhasil kembali ke darat sebagai bayi kepiting berukuran sekitar lima milimeter. Kecil, tapi menjadi harapan baru bagi populasi berikutnya.
Migrasi besar-besaran ini memang menakjubkan, tapi juga membawa tantangan tersendiri bagi penduduk setempat.
Jalan raya sering tertutup jutaan kepiting yang berjalan perlahan ke arah laut, bahkan sebagian masuk ke halaman rumah warga.
Untuk membantu mereka, petugas taman nasional dan penduduk lokal bekerja sama menjaga keselamatan kepiting. Banyak yang membawa garu dan blower daun di mobil untuk menyingkirkan kepiting dari jalan tanpa melukai mereka.
Seorang pengusaha eco-lodge bernama Chris Bray bahkan menciptakan alat bernama “crab mobile”, sebuah perangkat sederhana yang dipasang di depan mobil untuk mendorong kepiting keluar dari jalur kendaraan dengan aman.
“Desainnya harus kuat, mudah diperbaiki, dan bisa bekerja di jalanan berbatu. Yang penting, kepitingnya tetap aman,” kata Bray mengutip dari The Guardian (25/10/2025).
Bagi warga Pulau Christmas, migrasi kepiting merah bukan sekadar tontonan, tapi juga simbol keseimbangan alam. Mereka percaya, selama kepiting masih bermigrasi, ekosistem pulau tetap sehat.
“Semua orang di sini menghargai kepiting, migrasi ini seperti perayaan tahunan bagi kami — bukti bahwa alam masih berjalan sebagaimana mestinya,” ujar Alexia Jankowski, manajer sementara Taman Nasional Pulau Christmas.
Kontributor : Gradciano Madomi Jawa