Kita mencari standar suara harus cenderung lucu, memancing anak-anak untuk mengapresiasi. Mungkin Doraemon pakai suara-suara yang nyele (tak umum) atau khusus. Kita pakai suara yang khusus seperti ini untuk menarik perhatian, untuk anak-anak. Tak lupa juga diselipkan guyonan untuk anak juga.
Lalu, apa kira-kira tantangan memainkan figur kartun begini?
Tantangannya kan terbatas juga untuk komedian saja. Ketika kita menceritakan hal yang serius, yang diperuntukkan anak-anak milenial, itu beda lagi. Mungkin wayang-wayang ini hanya untuk anak-anak saja.
Misalkan kita ingin memberikan pesan untuk antinarkoba dan sejenisnya, itu harus kita pilah. Nanti mungkin kalau di anak-anak seusia SMA, bisa misalkan mengangkat antinarkoba, yang ditransfer ke bahasa wayang itu bubuk kolomunyeng. Bubuk itu tepung atau gelepung, kolomunyeng itu yang bisa bikin pusing tujuh keliling dan lupa segalanya. Yang pasti, wayang itu sesuai dengan khitoh-nya. Kita mengajak dan berkontribusi membentuk budi pekerti yang luhur, dan juga membentuk akhlakul karimah yang utama.
Sejauh ini, bagaimana Anda melihat ketertarikan wayang di kalangan milenial?
Kalau sekarang sebenarnya ini sebuah tantangan yang berat. Tarik-menarik, ketika kita harus berkreasi baru dengan bahasa yang mudah dicerna oleh audiens, tapi sastranya cenderung mundur. Tapi kalau kita idealis dengan sastra-sastra tinggi, kadang-kadang penikmatnya susah.
Makanya ini pergeseran, dan saya juga sadar harus memakai standar bahasa lagi. Pelan-pelan kita tata kembali, dan (tergantung) diperuntukkan untuk siapa. Mungkin kalau anak seni berlatar belakang SMKI, ISI, Unesa, masih bisa mengapresiasi. Tapi kalau dari sekolah umum, kita memakai bahasa yang formal. Yang komunikatif saja, yang mudah dipahami.
Pernah ada pengalaman ditolak ketika menawarkan wayang ke kalangan milenial?
Ya, pernah saja. Pernah juga (ada yang komentar) "Nggak mau pak, ngantuk dengar wayang". Campursarinya saja dia dengar lagu-lagunya saja. Ada juga yang minta, tapi nggak lama, cuma 3 jam saja. Itu di Lamongan. Anak Karang Taruna, anak muda di sana itu ya, ndak kuat harus melek semalaman. Cukup dengan maksimal jam 2 harus selesai, (pentas selama) 3-4 jam lah.
Baca Juga: Mengintip Pembuatan Wayang dari Daun Singkong
Dalang sendiri saat ini merupakan profesi yang langka. Tapi apakah dengan profesi ini Anda bisa mencukupi kebutuhan keluarga?
Subur atau tidaknya suatu kesenian itu tergantung apresiasi masyarakat. Dan kebutuhan masyarakat, Insya Allah wayang cekdong di wilayah Gresik dan sekitarnya masih diminati masyarakat. Masyarakat penanggap, pengguna juga mereka untuk acara hiburan ini sebagian masih percaya. Untuk ritual sedekah bumu, ruwatan, selamatan menanam padi. Saya kira kalau masyarakat masih menggunakan wayang seperti itu, masih bisa lestari.
Kalau boleh tahu, Anda setiap kali pentas berapa penghasilannya, dan itu berapa lama durasinya?
Relatif. Biasanya kalau jauh itu, selisih transportasi. Kalau Gresik, Lamongan, ya 20 juta sama campursari. Yang pasti kalau Jawa Timuran 5 jam kan. Kalau Jawa Timuran (acaranya) sore, ada Tari Remong. Itu setelah Remong dulu, jam 10 mulai, jadi jam 11 main terus, usai jam 4 subuh selesai.
![Dalang wayang Jawa Timuran, Ki Puguh Prasetyo, saat memainkan wayang-wayangnya. [Suara.com / Arry Saputra]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/02/13/25863-dalang-wayang-jawa-timuran-ki-puguh-prasetyo.jpg)
Apakah saat ini memiliki rencana untuk menambah lagi karakter atau figur kartun dalam wayang yang Anda pentaskan?
Sementara masih mengenalkan tiga sisi lain untuk banyol-banyolan komedi dan kritik sosial dengan menampilkan wayang-wayang ini. Ini bisa ditafsirkan (seperti) kupu-kupu malam, pelayan warung remang-remang. Ini antikritik sosial. Nanti ada juga bikin pakai tim pengaman, mungkin ada banyolan semacam ini: "Sarung yo, sarung mas, beli sarung yo, beli sarung. Tapi ojo sing larang-larang. Marung yo, marung mas, tapi ojo marung sing remang-remang." Jadi mengingatkan juga, kita turut membantu mengingatkan bahwa semacam itu ndak boleh.