Suara.com - Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) Budiman Sudjatmiko berbagi pengalaman tentang perubahan dan rencana masa depan sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Aktivis yang terkenal pro-demokrasi pada era reformasi itu kini berada di pemerintahan dalam Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Dia menceritakan pengalamannya mengenai fasilitas untuk pejabat berupa pengawalan yang saat ini didapatkannya. Budiman mengisahkan kesederhanaan saat menggunakkan angkutan umum hingga menginap di rumah-rumah penduduk.
Selain itu, Budiman juga berbicara mengenai acuannya dalam mengentaskan kemiskinan dengan pendekatan yang diadopsi dari Brazil dan China di tengah era industri teknologi digital saat ini.
Melalui siniar bersama Kagama ini, Budiman juga menuturkan pengalamannya saat menjadi mahasiswa ekonomis di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam kisahnya, Budiman menyampaikan padangan soal cara berpikir masyarakat di dalam dan di luar kampus UGM.
Mantan politikus PDIP itu turut menceritakan bagaimana visi kerakyatan dahulu dia bawa saat mengenyam pendidikan di UGM dengan diskusi-diskusi bersama para akademisi dan aktivis lainnya.
Simak kisah lengkap Budiman Sudjatmiko dalam wawancara berikut ini:
Kemarin itu kami tertarik ketika Mas Budi pakai mobil dinas tapi tetap diam ketika macet, ternyata publik melihat agak berbeda, apakah memang setiap hari begitu?
Dari dulu soal kenyamanan pribadi saja. Dari dulu saya kalau ada mobil ngoeng ngoeng, kadang saya merasakan tidak nyaman sekali, untuk saya pribadi, terkecuali kalau misalnya ada panggilan mendadak dan harus cepat. Ke istana atau ketik saya terlambat, terpaksa harus begitu, tapi sebisa mungkin saya selalu bilang pada ajudan ajudan saya ga usah pakai seperti itu. Yang kedua, saya juga selalu membatasi kalau perjalanan di luar kota pun ga usah banyak banyak timnya, terlebih ada instruksi presiden untuk penghematan. Memang saya melihat bahwa tidak ada sesuatu yang harus dirayakan seolah penting karena bagi saya sebisa mungkin kalau saya bisa mencapai sasaran tanpa harus memakai sirine ya kenapa memaksakan pakai sirine. Saya orangnya fungsional saja. Apa yang fungsional ya dipakai, kalau tidak dibutuhkan ya saya tidak terlalu suka hal yang berlebihan kalau berkaitan dengan soal protokoler atau aksesori.
Baca Juga: Sakiti Hati Rakyat Miskin, Hukuman 20 Tahun Penjara Harvey Moeis jadi Mimpi Buruk Sandra Dewi!
Kalau ada masukkan agar pejabat naik angkutan umum, jangan-jangan Mas Budi sudah hari-hari begitu nih?
Ya saya kira tanpa harus ada anjuran itu ya selama ini, sering saya, sudah sering mengalami naik taksi. Dulu bahkan DPR kalau misalnya macet, ya saya nggak pernah pengawal juga waktu jaman DPR. Kalau macet saya harus ada rapat, harus ada kegiatan, ya saya pesan ojek online saja, dan nggak ada yang istimewa untuk itu. Saya kira itu biasa-biasa saja dan ketika saya sekarang diminta oleh Pak Presiden menjadi eksekutif, memang kelihatannya saya sudah jarang naik angkutan umum selama di dalam kota, jarang, tapi kalau misalnya ke luar kota, saya sering pakai angkutan umum. Kalau di Jawa, saya sering naik kereta, numpak sepur dan saya menikmati kereta api. Saya suka kereta api soalnya.

Dulu masa kecil di Purwokerto ya mas? Di Cilacap? Numpak sepur-nya dari Stasiun Cilacap?
Saya di Cilacap. Dari Kroya. Saya di Majenang tapi nggak ada stasiun kereta, tapi biasanya saya dulu waktu sokal di Jogja pulang yang naik sepur. Sepurnya tahu nggak sepur apa? Sepur barang. Perjalanan dari Jogja turun di Cilacap itu sehari.
Di perjalanan lihat perjuangan petani dan buruh gitu mas?
Oh iya, saya orang yang romantis ya, saya suka meromantisir proses. Ketika naik sepur, tiba-tiba ada orang datang bawa angutan, terus di kereta barang, ngobrol, saya suka. Kadang dulu waktu saya SMA di Jogja, kalau liburan, malamnya saya suka tidur di gerbong kereta di Stasiun Tugu atau Lempuyangan. Nginep di kereta barang Lempuyangan, malam-malam tidur, pagi-pagi pakai sarungan, bangun.