Suara.com - Di tengah pandemi yang masih berlanjut, para peneliti di dunia pun terus berlomba demi segera memastikan kehadiran vaksin Covid-19. Berbagai faktor diperiksa dan dipertimbangkan, termasuk hingga ke pola distribusi dan pelaksanaan vaksinasinya kelak ketika vaksin itu benar-benar sudah tersedia.
Untuk di Indonesia, kekinian Satgas Penanganan Covid-19 melalui Juru Bicara Wiku Adisasmito, menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo sendiri telah memastikan kesiapan pelaksanaan saat meninjau langsung simulasi vaksinasi Covid-19 di Puskesmas Tanah Sareal, Bogor, Jawa Barat, 18 November lalu.
"Secara logistik, kesiapan prosedur untuk menjaga suhu vaksin atau cold chain sudah siap, untuk menjaga kualitas dan efektivitasnya, sudah berjalan dengan baik," tutur Wiku, Jumat (27/11/2020), sembari menambahkan bahwa rata-rata kesiapan cold chain di Indonesia sudah mencapai 97 persen.
Di bagian lain, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito sebelumnya juga menyampaikan bahwa untuk vaksin Covid-19 buatan Sinovac yang tengah diteliti Bio Farma terpantau diproses dengan baik.
"Alhamdulillah, mutu vaksin dari BPOM bersama Bio Farma dan MUI (untuk) aspek halal, dapat dikatakan produk itu diproduksi dengan baik," kata Penny, Kamis (26/11).
Terkait hal ini, beberapa hari lalu pun Suara.com sempat mendapatkan penjelasan khusus dari beberapa pakar dan dokter terkait perkembangan vaksin ini. Salah satunya adalah Prof. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), M.M dari Universitas Padjajaran, yang terlibat intens dalam program penyiapan dan uji vaksin Covid-19 ini.
Berbicara dalam live webinar bertajuk "Percepatan Vaksin Covid-19: Sejauh Mana Keamanan, Kualitas dan Efektivitasnya" saat itu, berikut rangkuman keterangan Prof Kusnandi Rusmil di acara tersebut dalam format wawancara:
Bagaimana perkembangan uji klinis fase 3 vaksin Sinovac di Bandung?
Uji klinis fase 3 di Bandung ada 1.620 responden, dan uji klinis fase 3 itu bukan hanya di Bandung tapi juga di Brasil, Uni Emirat Arab, kemudian di India dan di Turki. Di Bandung jumlah sampel ada 1.620 sukarelawan. Dari 1.620 relawan, semuanya sudah disuntik imunisasi satu kali, dan yang berhasil diimunisasi dua kali ada 1.607 (relawan).
Jadi sisanya 13 (relawan) tidak dapat mengikuti imunisasi kedua karena ada beberapa hal. Ada yang pindah pekerjaannya, dan yang kedua, pada waktu harus disuntik yang kedua berhalangan hadir, karena ada yang sakit kemudian beberapa alasan lain. Jadi yang disuntik (kedua) 1.607 relawan.
Sebelum disuntik, mereka diambil darah, baru kemudian disuntik. Lalu sebulan setelah suntikan kedua juga diambil darah. Tiga bulan kemudian diambil darah, dan enam bulan kemudian diambil darah. Sekarang sudah diambil darah yang kedua. Mereka diikuti selama satu bulan, tiga bulan, dan enam bulan.
Maksudnya apa? Kita melihat antibodi. Selama diambil darah, mereka juga ditanya bagaimana kesehatannya, saat disuntik berapa panas (suhu badannya), berapa bengkaknya.
Dari hasil pengamatan sekarang ini, semua subyek yang ikut uji klinis fase 3, tidak ada yang mengeluh. Semua bilang, "Ah, gak kenapa-kenapa, bengkak cuma sedikit dalam dua hari ilang." Sehingga sampai sekarang ini, saya merasa dibanding penelitian-penelitian yang pernah saya lakukan sebelumnya, contohnya vaksin Pentabio --meneliti vaksin tetatus, difteri, hepatitis B-- kelihatannya ini lebih ringan dibandingkan gejala keluhan keamanannya.
Sampai saat ini, saya mengatakan bahwa vaksin ini yang (uji klinisnya) dilakukan pada 1.600 (orang) lebih, tidak ada hal yang mengkhawatirkan. Jadi semuanya berjalan normal dan tidak mengkhawatirkan.
Hal yang membuat saya khawatir justru penyakitnya. Ini penyakit baru 10 bulan ada, tapi yang terinfeksi di seluruh dunia itu sudah 50 juta dan yang meninggal dunia sudah 1,3 juta. Jadi bisa dibayangkan, dalam 10 bulan ini penyakitnya sangat sangat menular, dan sangat berat karena banyak yang meninggal. Di Indonesia termasuk yang banyak penderitanya.