Transformasi Sarana Menara Nusantara dari 'Raja Menara' Menuju Raksasa Infrastruktur Digital

Senin, 13 Oktober 2025 | 14:33 WIB
Transformasi Sarana Menara Nusantara dari 'Raja Menara' Menuju Raksasa Infrastruktur Digital
PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) kini tidak lagi hanya dikenal sebagai "raja menara" telekomunikasi. Perusahaan yang dipimpin oleh Aming Santoso selaku Presiden Direktur dan Group CEO ini tengah bertransformasi menjadi penyedia infrastruktur digital yang lengkap. Foto Suara.com.
Baca 10 detik
  • PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) sedang bertransformasi dari sekadar "raja menara" telekomunikasi menjadi penyedia infrastruktur digital yang lengkap.
  • Transformasi ambisius ini dipimpin oleh Aming Santoso (Presiden Direktur dan Group CEO) yang didukung oleh jajaran direksi, termasuk Anita Anwar dan Silvi Liswanda.
  • Kisah dan strategi perusahaan dalam transformasi ini diangkat dalam program wawancara eksklusif Meet The CEO, hasil kolaborasi antara Suara.com dan IDNFinancials.com.

Suara.com - PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) kini tidak lagi hanya dikenal sebagai "raja menara" telekomunikasi. Perusahaan yang dipimpin oleh Aming Santoso selaku Presiden Direktur dan Group CEO ini tengah bertransformasi menjadi penyedia infrastruktur digital yang lengkap.

Dalam wawancara eksklusif di program Meet The CEO, Aming, didampingi Anita Anwar, Director & Chief Property Management Officer dan Silvi Liswanda, Vice President Director dan Deputy CEO iForte, diwawancarai oleh Pemimpin Redaksi (Pemred) Suara.com Suwarjono dan Pemred IDNFinancials.com Mohamad Teguh.

Meet The CEO merupakan program wawancara eksklusif Suara.com yang berkolaborasi dengan IDNFinancials.com.

Berikut petikan wawancara mendalam yang dilakukan Suwarjono dan Teguh itu.

Boleh diceritakan, bagaimana awal mula PT Sarana Menara Nusantara memutuskan masuk ke sektor telekomunikasi, khususnya menara?

Sebenarnya, masuknya kami ke sektor ini bisa dibilang ketidaksengajaan. Awalnya, kami diajak oleh investor dari AS, Farallon, dan konsorsium dari ex-Management American Tower, untuk bergabung mengakuisisi PT Protelindo di tahun 2007. Waktu itu jumlah tower kami masih kecil, kurang dari seribu. Karena hubungan baik dengan Farallon, kami ikut saja dan diminta menjadi majority serta controlling. Mereka butuh mitra lokal dengan reputasi baik untuk melanjutkan bisnis ini.

Apa yang membuat Anda tertarik, padahal bisnis menara relatif baru dan tantangannya besar?

Kami melihat model bisnisnya bagus. Pendapatan kami contracted 10 tahun. Begitu kami mengeluarkan Capex, pasti ada revenue karena ini job order. Waktu itu, jumlah operator telekomunikasi ada 10, jadi satu menara bisa disewa banyak telco. Collocation (tingkat penggunaan menara) bisa tinggi, payback-nya cepat.

Dengan tren konsolidasi operator, bisnis menara terancam. Bagaimana Anda menyikapinya?

Baca Juga: Rekor 20 Tahun Tumbang! Aksi Nekat Pemuda Ini di Menara Eiffel Bikin Melongo!

Betul. Jumlah telco terus berkurang, dari 10 menjadi 7, lalu 5, dan seterusnya. Jika bisnis kami hanya tower, risikonya tinggi. Maka, pada tahun 2015 kami memutuskan diversifikasi dengan mengakuisisi iForte (fiber optic). Waktu itu iForte hanya punya 700 kilometer kabel, sepanjang busway. Itu adalah langkah awal kami berpikir untuk memperluas pendapatan dari non-tower.

Sekarang Anda menyebut perusahaan sebagai penyedia digital infrastructure. Seberapa jauh ekspansi fiber optic Anda?

Ya, kami memposisikan diri sebagai penyedia infrastruktur digital yang netral (B2B), yang memungkinkan segala sesuatu yang digital itu terjadi. Saat ini, fiber optic kami sudah mencapai 200.000 kilometer, atau sekitar 4,5 kali keliling bumi! Kami juga melayani 6.000 corporate client internet B2B. Selain itu, kami menyediakan infrastruktur Fiber to the Home (Home Pass) untuk operator. Kami yang membangun dan mengoperasikan, namun operator yang mencari pelanggan ritel (customer C-nya).

Membangun hampir 36.000 menara di seluruh Indonesia, termasuk di Papua dan Aceh, pasti penuh tantangan. Bagaimana Anda mengelolanya?

TOWR
PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) kini tidak lagi hanya dikenal sebagai "raja menara" telekomunikasi. Perusahaan yang dipimpin oleh Aming Santoso selaku Presiden Direktur dan Group CEO ini tengah bertransformasi menjadi penyedia infrastruktur digital yang lengkap. Foto Suara.com.

Jumlah itu tidak kami bangun dalam semalam, melainkan dari 2007 hingga saat ini, termasuk melalui akuisisi. Kelebihan kami sebagai orang lokal adalah memiliki local knowledge. Kami tahu bagaimana berinteraksi dengan masyarakat di daerah.

Setelah diakuisisi, apakah ada perubahan budaya manajemen untuk maintenance infrastruktur sebesar ini?

Kelebihan kami adalah mampu memanajemen jumlah infrastruktur seberapa pun besarnya dengan cara yang makin efisien. Inilah mengapa kami berani melakukan akuisisi. Setelah akuisisi, hasilnya selalu beda. Sebagai contoh, saat kami mengakuisisi IPST, banyak analis meragukan. Tapi berkat sinergi dan efisiensi, EBITDA margin mereka yang awalnya 70%an, kini naik menjadi 88%! Cost of fund juga turun.

Konsolidasi juga terjadi di industri tower company. Apakah ini menguntungkan?

Ya, karena customer kami (telco operator) juga terkonsolidasi dari 10 menjadi 3 besar. Sektor tower company juga harus menyesuaikan diri. Saat ini, kita bisa dibilang tinggal Big Three juga. Jadi ada sinkronisasi, dan kami optimis karena setiap akuisisi, kami bisa meningkatkan EBITDA margin melalui sinergi.

Tahun ini (2025) ada konsolidasi XL dan Smartfren. Apa target growth laba bersih Anda?

Karena ada konsolidasi, growth di jumlah tower akan melandai, sekitar 36 ribuan. Namun, kami menargetkan pertumbuhan laba bersih bisa di atas 10%.

Selain fiber optic, ada pengembangan ke Energi Terbarukan (PLTS). Apakah ini mesin pertumbuhan baru?

Betul. Kami konsisten mencari new engine growth dari revenue. Bisnis energi surya ini cocok karena model bisnisnya mirip dengan tower dan fiber optic: long-term contract 20-25 tahun. Kami menjadikan 6.000 corporate customer iForte sebagai captive market kami. Kami menawarkan efisiensi energi surya kepada mereka.

Model bisnis PLTS Anda juga unik, ya?

Ya. Kami bukan kontraktor. Kami partner. Capex dari kami, kami yang pasang, kami yang maintenance. Revenue kami berasal dari berbagi efisiensi yang didapatkan oleh klien.

Selain infrastruktur, perusahaan Anda dikenal dengan acara kebudayaan besar, Pagelaran Sabang Merauke. Apa hubungannya dengan bisnis tower?

Silvi: Infrastruktur kami dari Sabang sampai Merauke. Ini adalah salah satu cara kami giving back kepada masyarakat. Kami ingin menampilkan keindahan dan keberagaman budaya. Kami sudah melakukannya enam kali, total ditonton lebih dari 50.000 penonton, dan ini membangkitkan rasa bangga dan nasionalisme yang luar biasa.

Aming Santoso: Kami berharap ini menjadi sebuah gerakan. Selain itu, kami mengadakan The Audition untuk penari-penari daerah agar mereka bisa tampil di pagelaran standar internasional ini. Kami ingin anak-anak muda lebih mencintai dan melestarikan budaya Nusantara.

Terkait tantangan geografi Indonesia, Anda membangun di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Apakah ada perbedaan harga sewa?

Anita: Ongkos membangun di Indonesia Timur memang lebih mahal. Namun, harga sewa yang kami terapkan ke telco operator tetap sama (blended). Kami berbisnis tidak hanya mencari untung di satu tempat. Ini adalah tanggung jawab kami untuk mendukung infrastruktur bagi seluruh pengguna telco di Indonesia. Kami juga ikut serta dalam kewajiban membangun tower di daerah 3T atas permintaan pemerintah dan telco operator.

Apakah ada kekhawatiran soal kompetisi dari proyek pemerintah seperti Palapa Ring?

Tidak pernah. Infrastruktur kami dan Palapa Ring saling melengkapi (complementary). Jika ada kabel yang terpotong di satu sisi, masih ada redundancy di sisi lain. Indonesia ini luas sekali; masih sangat butuh infrastruktur yang lebih baik dan redundant.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI