Sebut Bukalapak dari Singapura, Kini Majalah The Economist Kritik Jokowi

Iwan Supriyatna Suara.Com
Senin, 28 Januari 2019 | 07:11 WIB
Sebut Bukalapak dari Singapura, Kini Majalah The Economist Kritik Jokowi
Warganet mengejek The Economist karena menyebut Tokopedia dan Bukalapak dari Singapura. (Dok Twitter/TheEconomist)

Suara.com - Staf Khusus Presiden, Ahmad Erani Yustika menilai, kritik yang disampaikan oleh majalah berbahasa Inggris The Economist terhadap kinerja pemerintah Indonesia dinilai tidak berdasarkan data yang akurat.

"Kami mengapresiasi atas kritik yang disampaikan oleh The Economist, namun banyak dari kritik itu yang perlu diklarifikasi karena tidak didasarkan kepada data yang akurat dan peta komprehensif atas kemajuan ekonomi Indonesia dari waktu ke waktu," kata Staf Khusus Presiden, Ahmad Erani Yustika.

Menurut Erani, The Economist mengkritik pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla karena menekankan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan mengedepankan geliat investasi dengan cara menarik investor.

Majalah tersebut pada pekan lalu membuat tulisan tentang kritik janji kampanye Presiden Joko Widodo untuk memberikan pertumbuhan PDB sebesar 7 persen per tahun pada akhir masa jabatan pertamanya.

Namun realisasinya hanya sekitar 5 persen. Prospek untuk 2019 juga terlihat tidak lebih baik, terutama karena Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga enam kali dalam sembilan bulan terakhir untuk menahan penurunan rupiah.

Kritikan kedua adalah soal rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia yang memiliki kualifikasi yang baik. Hal ini dikeluhkan oleh para pebisnis tentang kurangnya pekerja Indonesia yang terampil.

Meski 20 persen anggaran APBN untuk pendidikan ditambah, namun standar pendidikan di Indonesia masih rendah.

The Economist juga melihat tingginya upah tenaga kerja Indonesia. Upah pekerja manufaktur Indonesia 45 persen lebih tinggi dari Vietnam karena kebijakan populis Pemerintah Daerah (Pemda) yang sebagian besar merupakan politikus untuk mengangkat suara mereka.

Kritikan lainnya adalah dalam hal belanja anggaran. Awalnya Jokowi fokus untuk pembangunan infrastruktur namun dalam anggaran 2018, The Economist melihat modal untuk infrastruktur justru menurun, digantikan dengan belanja subsidi.

Baca Juga: Ahok Mau Nikahi Puput, Grace Natalie: Itu Berarti Saya Bukan Selingkuhannya

Menanggapi kritikan itu, Erani mengatakan indikator-indikator makroekonomi Indonesia tetap solid dan cenderung membaik.

Beberapa indikator yang dimaksud adalah tren pertumbuhan ekonomi Indonesia justru naik dari 5,01 persen pada 2014 menjadi 5,17 persen pada 2018 (Triwulan III).

Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan penurunan sejak 2011 hingga 2015. Pada 2011, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,4 persen dan turun menjadi 4,9 persen pada 2015.

Setelah itu pertumbuhan ekonomi menanjak kembali secara perlahan di saat negara lain pertumbuhan ekonominya makin turun, termasuk China.

"Kualitas pertumbuhan ekonomi membaik. Untuk pertama kalinya sejak 2016 pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan secara bersamaan. Seperti diketahui, pada periode 2005-2014 ketimpangan pendapatan terus meningkat," tambah Erani.

Kemiskinan turun dari 11 persen (2014) menjadi 9,6 persen (2018). Pengangguran turun dari 5,94 persen (2014) menjadi 5,3 persen (2018).

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI