Pengusaha Rokok Desak Pemerintah Hapus Perdirjen Bea Cukai Nomor 37/2017

Kamis, 09 Juli 2020 | 08:19 WIB
Pengusaha Rokok Desak Pemerintah Hapus Perdirjen Bea Cukai Nomor 37/2017
Ilustrasi cukai rokok.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perusahaan-perusahaan rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) mendesak pemerintah untuk menghapus Perdirjen Bea Cukai No 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Sekjen Formasi Suhardjo mengatakan, pihaknya menentang klausul dalam peraturan tersebut yang membolehkan produsen menjual rokok ke konsumen dengan harga di bawah 85 persen dari harga banderol yang berlaku di 50 persen wilayah pengawasan Kantor Bea Cukai. 

Perdirjen Nomor 37 Tahun 2017 ini merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau

"Kami protes atau menentang karena aturan seperti itu dimanfaatkan oleh pabrik besar untuk menjual rokok lebih murah, sehingga persaingan menjadi lebih berat bagi kami," kata Suhardjo dalam keterangannya, Kamis (9/7/2020).

Saat perusahaan besar menjual harga produknya di bawah 85 persen dari harga jual eceran (HJE), persaingan harga di pasar menjadi tidak seimbang dan menekan perusahaan kecil.

"Katakanlah produk rokok 12 batang dari Sampoerna atau Gudang garam, umpamanya harga banderolnya seharusnya Rp 20 ribuan, kemudian dijual Rp 17 ribu, otomatis orang tertarik kalau melihat harganya," jelasnya.

Perdirjen tersebut, kata Suhardjo, pasti membuat banyak perusahaan besar berlomba untuk menjual produknya dengan harga serendah mungkin. 

"Intinya harga transaksi pasar (HTP) harus sama dengan HJE, jadi enggak ada akal-akalan lagi dari perusahaan besar," imbuhnya. 

Dia menuturkan bahwa selama ini perusahaan kecil sangat dipersulit dengan ketentuan ini karena persaingan pasar terus terhimpit harga. 

Baca Juga: Tak Punya Rokok, Kernet Truk di Probolinggo Bobol Rumah Warga

Sebenarnya, katanya, Formasi bisa memaklumi hal-hal seperti ini apabila pemotongan harga dilakukan ketika peluncuran produk baru dan bertujuan untuk menggaet pasar. Akan tetapi yang jadi masalah, perusahaan besar tampaknya menjadikan kebijakan tersebut sebagai strategi pasar.

"Memang harga rokoknya tidak semua murah. Misalnya satu perusahaan memiliki enam brand, satu brand dijual murah. Walaupun itu hanya satu brand, itu sangat mempengaruhi. Perusahaan kecil jadi enggak berkutik karena kita sendiri enggak mungkin bisa menjual produk semurah itu," katanya. 

Dia mengatakan bahwa perusahaan kecil pasti babak belur jika harus mensubsidi produknya agar dapat dijual dengan harga yang bersaing dengan produk pabrikan besar.

“Secara pemodalan di lapangan saja kita pasti kalah dengan pemain besar ini,” katanya lagi.

"Dari dulu kita sudah protes kepada Bea Cukai dan meminta agar kebijakan tersebut direvisi," katanya.

Sebelumnya, Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) Abdillah Ahsan menjelaskan bahwa salah satu penyebab tingginya konsumsi rokok saat ini adalah harga rokok yang masih terjangkau karena dijual dengan harga di bawah banderol.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI