"Kondisi ekonomi kuartalan yang kemudian dilakukan PSBB secara ketat dan penuh menyebabkan perekonomian kita makin turun tajam pada kuartal II menjadi minus 5,3 persen. Dimana seluruh komponen perekonomian dari konsumsi rumah tangga, investasi, kegiatan ekspor impor mengalami kontraksi sangat tajam," katanya.
Untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak sangat besar yang mengancam kondisi sosial perekonomian, maka dampak yang dapat menimbulkan domino effect yang bisa juga menimbulkan ancaman stabilitas sistem keuangan.
"Pemerintah bersama otoritas sektor keuangan memandang perlu melakukan langkah-langkah luar biasa atau extraordinary secara cepat dan signifikan," tambah Sri Mulyani.
Pelaksanaan langkah extraordinary dimaksudkan untuk menciptakan tindakan preventif dan melaksanakan penanganan Covid-19 yang memerlukan produk hukum yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Pemerintah bersama otoritas sektor keuangan berkeyakinan bahwa produk hukum yang paling memadai untuk mengatasi kondisi kegentingan memaksa akibat Covid-19 tersebut adalah dalam bentuk Perppu dengan mendasarkan pada ketentuan pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 mengenai kegentingan memaksa.
“Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud kehadiran negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah di dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah yang bersifat extraordinary di bidang keuangan negara maupun tindakan antisipatif forward-looking terhadap ancaman memburuknya perekonomian dan ancaman stabilitas sistem keuangan seiring dengan ketidakpastian dan belum berakhirnya penyebaran Covid-19,” pungkasnya.