Jika masalah utang Lapindo tidak kunjung selesai, ia khawatir ke depannya negara bisa dirugikan. Kata dia, bisa saja nantinya ada keputusan politis, yang akan memutihkan kewajiban Lapindo terhadap pemerintah. Tauhid Ahmad menegaskan bahwa hal itu tidak boleh terjadi.
"Kita juga tidak mau seperti itu, pemerintah sebaiknya kencang sampai kapan pun, kan uang negara yang digunakan untuk mengganti kerugian masyarakat," ucap dia.
Untuk diketahui, Bencana Lumpur Lapindo terjadi pada 29 Mei 2006 lalu, di Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, bagian dari kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas.
Buntut dari semburan lumpur panas, pada Maret 2007 perusahaan konglomerasi Bakrie itu memperoleh pinjaman Rp 781,68 miliar, namun utang yang ditarik dari pemerintah (dana talangan) sebesar Rp 773,8 miliar.
Pinjaman tersebut memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8 persen, dengan denda 1/1.000 per-hari dari nilai pinjaman. Namun hingga saat ini, Lapindo Brantas Inc belum juga melunasi utangnya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya harus mengembalikan uang negara sebesar Rp 1,91 triliun.
Jumat lalu (30/4/3021), Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rionald Silaban menegaskan bahwa pemerintah masih terus berupaya menagih.