Menurut Yudho, sebuah merek dimunculkan atau diciptakan dalam rangka untuk membedakan antara satu produk dengan produk yang lainya.
Merek pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan oleh seseorang atau badan hukum.
Selain itu, merek juga berfungsi sebagai alat promosi dan jaminan atas mutu barang/produk serta menunjukkan asal barang atau jasa yang dihasilkan.
"Aturan mengenai merek ini sudah jelas dan banyak kasus gugatan merek seperti halnya yang sekarang ramai dengan GoTo. Selain faktor teknis, tentunya sebuah gugatan akan dilihat iktikad dari pemohon sebagaimana pasal 21 UU merek ayat 3. Jika iktikadnya tidak baik pasti akan ditolak majelis hakim. Undang-undangnya sudah mengatur begitu," tegasnya.
Selain itu, Yudho menambahkan, terpenting, dalam penanganan persoalan pelanggaran merek adalah apakah dalam mengajukan permohonan merek tersebut pihak pemohan ada unsur 'adanya itikad buruk'.
Artinya, apakah pemohon yang mengajukan permohoan atas merek memiliki tujuan meniru, menjiplak, atau mengikuti merek lain demi kepentingan usahanya dan menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, atau mengecoh atau menyesatkan konsumen.
"Kondisi demikian, biasanya banyak terjadi di mana merek-merek tertentu mencoba peruntungan untuk mendompleng merek-merek terkenal yang sudah ada. Kata GoTo sebelumnya sudah sering kita dengar lewat berbagai percakapan. Tapi identitas GoTo sebagai brand ya muncul setelah merger Gojek dan Tokopedia,” ujarnya.
Sebelumnya, Gojek dan Tokopedia digugat soal penggunaan merek GoTo. Gugatan dilayangkan oleh sebuah perusahaan keuangan bernama PT Terbit Financial Technology.
Gugatan ini dilayangkan pada 2 November 2021, dengan nomor perkara 71/Pdt.Sus-HKI/Merek/2021/PN Niaga Jkt.Pst. Mochammad Fatoni ditunjuk jadi kuasa hukum Terbit Financial Technology selaku penggugat.
Baca Juga: Dilaporkan ke Polda Metro Jaya, GoTo: Kami Hormati Proses Hukum yang Berlaku
Tergugat dalam kasus ini adalah PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) dan PT Tokopedia. Keduanya diminta membayar ganti rugi hingga Rp 2,08 triliun.