“Perda KTR, dalam praktiknya, harus bisa mengakomodir kebutuhan aktivitas pelaku ekonomi sampai konsumen. Pemerintah secara adil dan berimbang harus bisa mengakomodir ruang-ruang atau sarana yang aman dan nyaman, tidak hanya kepada satu pihak,” pungkasnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N. Suparman mengatakan bahwa peraturan daerah harus mengacu pada peraturan di atasnya.
Sebab, berdasarkan hierarki hukum, peraturan level nasional lebih tinggi daripada peraturan daerah. Apabila ada disharmonisasi antara peraturan daerah dan peraturan nasional, maka akan terjadi konflik dan menimbulkan dampak negatif.
“Dalam kasus perda KTR, apabila tidak sesuai dengan peraturan di atasnya, maka akan ada yang dirugikan seperti pedagang eceran, pedagang kaki lima, dan pelaku usaha di sektor reklame. Ini berdampak negatif terhadap penghasilan mereka,” ujar Arman kepada wartawan.
Selain itu, menurut Arman, perda yang melampaui peraturan di atasnya juga akan menimbulkan kegamangan dalam implementasinya. Masyarakat, khususnya pelaku usaha, akan kebingungan mengikuti peraturan yang mana.
Pasalnya, menurut Arman, masyarakat di daerah rentan dikenakan sanksi apabila tidak mengikuti aturan sesuai perda. Padahal, mereka mengetahui bahwa hal tersebut tidak sesuai dan seharusnya mengikuti regulasi yang lebih tinggi.
“KTR ini kan mengatur soal pengendalian, bukan pelarangan. Dalam konteks itu, pelaku usaha atau masyarakat bisa menilai seharusnya mereka mengikuti peraturan yang lebih tinggi yaitu di PP 109/2012,” jelas Arman.