Komnas Pengendalian Tembakau: Jika Masih Merokok, Generasi Emas Berubah Jadi Cemas

Senin, 06 Juni 2022 | 17:36 WIB
Komnas Pengendalian Tembakau: Jika Masih Merokok, Generasi Emas Berubah Jadi Cemas
Sejumlah Pekerja menyelesaikan proses pembuatan rokok di Pabrik Rokok Kudus. [Dok.Antara]

Suara.com - Kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau atau rokok dinilai banyak pihak belum efektif mengurangi konsumsi rokok, terutama dari sisi prevalensi.

Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan saat ini perokok di Indonesia didominasi pada usia muda yaitu antara 15-19 tahun.

"Jika masih merokok, generasi emas ini berubah jadi generasi cemas. Hal ini bisa jadi terjadi karena dosis cukainya belum cukup karena pilihan rokok yang banyak sehingga masyarakat dapat beralih ke rokok yang lebih murah," ujarnya dalam webinar, Senin (6/6/2022).

Untuk melindungi anak dan remaja dari rokok agar tercipta sumber daya manusia (SDM) unggul, kata Hasbullah, salah satu intervensi paling efektif adalah intervensi harga melalui kebijakan kenaikan cukai dan penyederhanaan struktur tarif cukai.

"Simplifikasi struktur cukai akan menjadi hal yang cukup efektif untuk membuat harga rokok tidak murah dan tidak membuat pilihan harga rokok yang beragam karena banyaknya golongan pada tiap jenis rokok," katanya.

Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal Febri Pangestu mengakui urgensi dari pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia jika dilihat dari sisi prevalensi perokoknya.

Hal ini dipicu oleh harga rokok di Indonesia yang relatif murah dan banyaknya loophole dari kebijakan cukai rokok yang berlaku.

"Kebijakan cukai pemerintah diupayakan mencapai titik optimal dari berbagai tujuan yakni pengendalian konsumsi, penerimaan negara, tenaga kerja dan petani tembakau, serta penindakan rokok ilegal," kata dia.

Febri menjelaskan struktur tarif cukai rokok di Indonesia masih kompleks karena dibedakan berdasarkan jenis dan jumlah produksi. Padahal idealnya ketika kebijakan cukai itu ditujukan untuk pengendalian konsumsi, tidak diperlukan lagi pembedaan tarif dari golongan.

Baca Juga: Hari Tanpa Temabakau Sedunia, Pakar Soroti Indonesia yang Belum Juga Ratifikasi FCTC

"Yang disarankan adalah tarif seragam. Penggolongan juga tidak efektif dan tidak ideal untuk memisahkan pabrikan kecil dan besar. Menurut saya batasan produksi 3 miliar batang untuk menentukan golongan itu masih terlalu besar," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?