Suara.com - Pemerintah diminta melakukan penyesuaian terhadap kebijakan perdagangan yang mengganggu volume ekspor sawit sehingga memberikan dampak luas kepada harga tandan buah segar sawit petani dan kondisi over kapasitas di tanki penyimpanan pabrik.
Keinginan pemerintah mempercepat ekspor sawit dapat terealisasi asalkan kebijakan yang mendistorsi pasar seperti Domestic Market Obligation, Domestic Price Obligation, dan Flush-Out dapat dihilangkan.
Berdasarkan Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi FEB Universitas Indonesia menyimpulkan bahwa kebijakan pengendalian harga minyak goreng perlu dilakukan oleh pemerintah secara lebih berhati-hati supaya tidak mengganggu mekanisme pasar industri sawit di dalam negeri. Kebijakan yang baik adalah yang seminimum mungkin mendistorsi pasar.
Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI Eugenia Mardanugraha mengatakan kebijakan pemerintah sebaiknya dapat meminimalkan distorsi terhadap pasar. Kebijakan pemerintah yang membatasi kegiatan ekspor berakibat tangki pabrik kelapa sawit mengalami over kapasitas. Situasi ini berakibat pabrik sawit membatasi pembelian TBS dari petani.
“Situasi ini membuat harga TBS jatuh, dan membawa penderitaan kepada petani sawit, khususnya petani sawit swadaya," ujar Eugenia Mardanugraha dalam webinar bertajuk Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Minyak Goreng Bagi Petani Swadaya, Selasa (2/8/2022).
Menurut dia pembatasan ekspor CPO, meskipun sementara dalam waktu singkat mendistorsi kegiatan perdagangan kelapa sawit dari hulu hingga hilir. Dampak negatif terbesar dirasakan oleh petani sawit swadaya karena harga TBS tidak kunjung menyesuaikan dengan harga internasional.
Dijelaskan Eugenia Mardanugraha bahwa hambatan ekspor sawit harus dikurangi atau bahkan dihapuskan. Lantaran regulasi dan perpajakan ekspor sawit saat ini terlalu banyak antara lain Bea Keluar, Pungutan Ekspor, Domestic Market Obligation, Domestic Price Obligation, Persetujuan Ekspor, dan Flush Out.
“Seluruh hambatan ekspor sebaiknya dikurangi bahkan dihapuskan. Pungutan Ekspor tidak diberlakukan dan Bea Keluar perlu disederhanakan untuk memperlancar ekspor sampai harga TBS mencapai tingkat yang sesuai harapan petani swadaya,” kata Eugenia.
Eugenia menyebutkan bahwa upaya meningkatkan harga tandan buah segar sawit petani membutuhkan dukungan peningkatan ekspor crude palm oil dalam jumlah yang besar. Merujuk hasil kajian bahwa setiap peningkatan ekspor CPO satu persen mampu mengerek harga TBS rerata 0,33 persen. Itu sebabnya, sangat dibutuhkan banyak volume ekspor untuk mengembalikan keekonomian harga TBS petani.
Baca Juga: Instruksi Presiden, Minggu Depan Harga TBS Sawit Sudah Harus Rp 2 Ribu
"Dibutuhkan peningkatan ekspor sebesar 1.740 persen atau 17 kali lipat supaya harga TBS petani dapat meningkat dari 861 rupiah per kilogram (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli 2022) menjadi 2.250 rupiah per kilogram," kata Eugenia.