- Raperda KTR DKI Jakarta tahap harmonisasi dikhawatirkan berdampak negatif pada UMKM dan pedagang kecil akibat pembatasan operasional.
- APVI menyoroti potensi peningkatan produk ilegal jika larangan pajangan dan promosi produk diterapkan secara absolut di area ritel.
- Asosiasi meminta Gubernur dan DPRD meninjau ulang substansi Raperda demi keseimbangan perlindungan masyarakat dan kelangsungan usaha legal.
Suara.com - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Provinsi DKI Jakarta menuai sorotan tajam dari masyarakat dan pelaku usaha kecil.
Aturan yang kini memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Dalam Negeri itu dinilai berpotensi menimbulkan dampak sosial dan ekonomi, khususnya bagi pedagang kecil dan UMKM.
Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Budiyanto, menegaskan regulasi pengendalian konsumsi semestinya disusun secara proporsional dan tetap mengedepankan perlindungan masyarakat secara menyeluruh.
Menurutnya, draf Raperda KTR saat ini menyimpan risiko sosial yang tidak bisa diabaikan.
![Dokumentasi-warga melintas di depan banner kawasan bebas asap rokok di halaman Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh. [ANTARA]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/12/16/79430-kawasan-tanpa-rokok.jpg)
"APVI mendukung sepenuhnya regulasi yang melindungi anak-anak. Meski demikian, rancangan Perda juga jangan sampai mematikan pelaku UMKM dan menutup akses bagi konsumen dewasa. Selain itu, Perda jangan sampai memicu semakin maraknya peredaran produk ilegal. Itu sebabnya kami mohon Gubernur dan DPRD untuk meninjau ulang Perda DKI sebelum disahkan," ujar Budiyanto di Jakarta, Minggu (21/12/2025).
APVI juga menyoroti potensi meningkatnya peredaran produk ilegal jika sejumlah ketentuan dalam Raperda tetap dipaksakan.
Larangan pajangan produk, pelarangan promosi secara absolut, serta pembatasan radius 200 meter dari seluruh jenis satuan pendidikan, termasuk lembaga kursus non-formal yang banyak berada di kawasan komersial, dinilai akan menyulitkan ritel legal untuk beroperasi.
Kondisi tersebut dikhawatirkan justru mendorong pergeseran pasar ke produk tanpa cukai dan tidak memenuhi standar keamanan.
APVI menilai pandangan ini sejalan dengan analisis para ekonom independen, termasuk dari INDEF, yang sebelumnya menyebut kebijakan tersebut dapat mengancam pedagang kecil sekaligus memperluas ruang perdagangan tidak resmi.
Baca Juga: Ritel dan UMKM Soroti Larangan Kawasan Tanpa Rokok, Potensi Rugi Puluhan Triliun
Dari sisi sosial ekonomi, pembatasan zonasi yang terlalu luas dan tanpa diferensiasi antara pendidikan formal dan non-formal dinilai akan menyeret ruko komersial dan pasar tradisional masuk ke dalam area larangan.
Hal ini berpotensi menghilangkan sumber penghidupan ribuan pedagang kecil yang saat ini masih berjuang bangkit.
Selain itu, larangan total pemajangan dan komunikasi produk dinilai membuat konsumen dewasa kehilangan hak untuk mengetahui legalitas dan perbedaan produk.
Situasi ini dinilai bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen dan berpotensi memperbesar pasar gelap yang sulit diawasi.
APVI pun secara resmi meminta pemerintah daerah dan legislatif untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan tersebut.
"Kami memohon perlindungan kepada Bapak Gubernur dan meminta agar proses harmonisasi diperhatikan secara seksama. Kami juga berharap DPRD membuka ruang dialog lintas pemangku kepentingan sebelum Perda ini ditetapkan. Jakarta tidak boleh menjadi episentrum pasar ilegal hanya karena regulasi yang disusun tanpa penilaian risiko sosial yang memadai," pungkas Budiyanto.