“Klaim wilayah RRC jangan dianggap sekedar peta. Dalam hukum internasional, peta tersebut harus ditambahkan dengan kehadiran fisik. Itulah sebabnya RRC berupaya hadir di wilayah LCS, termasuk perairan dekatn Natuna. Memang berdasarkan hukum internasional kapal perang mereka tidak boleh hadir, oleh karena itu, mereka mengirim nelayan nelayan mereka dengan dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantai mereka,” tuturnya.
Senada dengan Hikmahanto, pembicara berikutnya, Johanes Herlijanto, juga mengapresiasi respons keras dari berbagai negara terhadap tindakan RRC yang menerbitkan peta yang menerabas wilayah berbagai negara itu.
Pasalnya, tindakan RRC menerbitkan di atas dapat diinterpretasikan sebagai upaya RRC untuk menegaskan bahwa negara itu tetap kukuh dengan klaim kewilayahannya itu.
“Ada beberapa interpretasi dari tindakan Cina di atas,” tuturnya. “Pertama adalah interpretasi versi Cina, yang mengatakan bahwa tindakan menerbitkan peta itu adalah tindakan rutin. Kedua adalah analisis yang mengatakan bahwa penerbitan peta tersebut dilakukan untuk kepentingan internal Cina, agar publik Cina melihat keseriusan pemerintah mempertahankan wilayah mereka,” lanjutnya.
Namun bagi Johanes, penerbitan peta itu utamanya harus dimaknai sebagai upaya Cina memberi signal pada negara-negara kawasan bahwa RRC masih tetap mempertahankan klaimnya di LCS dan beberapa wilayah lain.
“Apalagi rilis peta tersebut dilakukan hanya hitungan hari sebelum negara-negara ASEAN melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, dan negara-negara G20 melangsungkan KTT di India,” sambung Johanes.
Seirama dengan Hikmahanto, Johanes juga menyatakan kekhawatiran bahwa kehadiran peta tersebut berpotensi untuk digunakan oleh Cina sebagai legitimasi bagi tindakan-tindakan negara itu di masa mendatang.
“Kita harus belajar dari rilis peta RRC dengan sembilan garis putus-putus (nine dash line) pada 1993, yang pada awalnya tidak disertai dengan ketegangan-ketegangan militer, namun dalam sekitar satu dasawarsa terakhir menjadi arena yang tegang karena RRC melakukan berbagai manuver yang berbenturan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia,” khususnya.
Oleh karenanya, menurut pemerhati Cina dari Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, selain menyatakan penolakan terhadap klaim garis putus-putus RRC di peta yang baru saja dirilis itu, Indonesia dan negara-negara lain, yang menjadi anggota Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), harus menjalin kerja sama untuk menghadapi RRC yang makin agresif itu.
Baca Juga: Nyaris Kalahkan Cina dan AS, Apa Kunci Keberhasilan Industri India?
Johanes juga menekankan pentingnya Indonesia dan negara-negara ASEAN terkait memperoleh dukungan internasional dalam menghadapi perilaku RRC itu.
“Dan akhirnya, Indonesia harus meningkatkan kekuatannya baik dalam bidang ekonomi maupun militer,” pungkasnya.