Peta jalan tersebut harus dapat mengakomodasi perlindungan sosial dan lingkungan terutama bagi pekerja dan masyarakat yang terdampak ketika pensiun dini PLTU dilaksanakan.
Kamia mengungkapkan PLN telah menyiapkan rencana untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dalam rencana pembangkitannya, sekaligus membangun jaringan transmisi listrik smart grid.
“Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelumnya, PLN telah merencanakan kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar 21 GW hingga 2030. Dengan revisi terbaru untuk RUPTL 2025–2034, kapasitas ini bisa lebih besar lagi,” katanya menjelaskan.
Namun, untuk mengimplementasikan rencana tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil menyerukan agar pemerintah memberikan dukungan insentif dan pendanaan inovatif bagi energi terbarukan serta pemberdayaan dan peningkatan akses usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi.
Perlu ada prosedur pengadaan energi terbarukan yang jelas dan transparan, serta pentingnya desentralisasi energi yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan yang demokratis dan berkelanjutan.
Selanjutnya, aspek ESG (environment, social, and governance), yang mencakup prinsip kelestarian lingkungan, keadilan sosial dan tata kelola yang baik, merupakan prasyarat yang harus dipenuhi oleh pelaku industri untuk mendapatkan perizinan investasi.
Koalisi Masyarakat Sipil mendorong agar penguatan standar pengaman, pengawasan, kepatuhan, serta pelaporan tentang penerapan ESG kepada publik, berpedoman pada standar internasional.
Keenam, mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penerapan kebijakan nilai ekonomi karbon (NEK). Koalisi melihat, harus ada desain dalam implementasi nilai ekonomi karbon yang jelas, termasuk memperhatikan mekanisme pengawasan, pelaporan dan verifikasi, serta pengaman yang dapat memberikan perlindungan hak dan manfaat kepada Masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, kebijakan biofuel, seperti B50 perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan aspek keadilan iklim, daya dukung lingkungan, dan daya saing industri. Koalisi mendorong opsi mempertimbangkan bahan baku berbasis lokal, pengakuan hak-hak petani kecil dan masyarakat adat terdampak, dan memperhatikan batas daya dukung dan daya tampung lahan sawit tidak lebih dari 18 juta hektar.
Baca Juga: Sustain: Rp 354 Triliun dari Usulan Peningkatan Pungutan Batu Bara untuk Transisi Energi
Terakhir, rencana co-firing biomassa yang akan dilakukan di 52 PLTU, perlu dievaluasi agar sejalan dengan target pemerintah mencapai nol emisi pada 2060 atau lebih cepat.
Pasalnya, sistem pembakaran yang menggabungkan bahan bakar nabati dan batu bara pada PLTU, berkontribusi pada peningkatan emisi dan berpotensi menghilangkan 72% tutupan hutan, serta berpotensi terkendala dalam pemenuhan pasokan dalam negeri.
Hal ini imbas dari pemenuhan komitmen ekspor ke Jepang yang trennya meroket hingga 258.510% berdasarkan temuan Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Peneliti Bioenergi CELIOS Viky Arthiando, mengatakan terdapat celah praktik ekspor ilegal dalam rantai pasok biomassa dan memicu unreporting atau miss-invoicing yang berpotensi merugikan negara, karena potensi bea keluar yang tidak optimal, kepatuhan pajak rendah, dan risiko deforestasi yang tidak tercatat. Oleh karena itu, Koalisi mendorong pengawasan dan audit yang kuat untuk praktik rantai pasok biomassa.
Direktur Program Yayasan Bicara Data Indonesia, Heri Susanto, mengatakan bahwa upaya transisi energi berkeadilan penting untuk diwujudkan karena akan mengurangi emisi karbon, mendatangkan investasi baru, lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan.
Mengingat agenda transisi energi berdampak luas dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan, pemerintah perlu memperkuat kolaborasi dengan pemangku kepentingan lain, seperti akademisi, swasta, media, serta masyarakat sipil termasuk perempuan, disabel, masyarakat rentan dan masyarakat terdampak dalam perencanaan, implementasi dan pengawasannya.