Suara.com - Industri tembakau nasional tengah dihadapi tantangan dalam keberlangsungan bisnis, terlebih adanya intervensi kepentingan asing. Intervensi asing itu berbentuk Kampanye anti-rokok yang didanai oleh lembaga asing dinilai dapat mematikan industri yang telah berkontribusi besar terhadap pendapatan negara dan menghidupi sekitar 6 juta orang di Indonesia.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Khoirul Atfifudin, menyoroti peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing dalam melemahkan industri tembakau nasional, yang merupakan bagian dari sektor padat karya. Dana dari yayasan asing seperti Bloomberg Philanthropies menjadi sorotan utama.
"Beberapa pihak di Indonesia menerima dana ini untuk melakukan kampanye anti-rokok di negara ini," ujarnya di Jakarta, seperti dikutip, Kamis (17/4/2025).
Dilansir dari situs resmi Tobacco Control Grants, the Bloomberg Initiative menyasar berbagai negara untuk mendukung upaya pengendalian tembakau di masing-masing negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk kategori sepuluh negara prioritas penerima aliran dana pengendalian tembakau tersebut bersama dengan negara penghasil tembakau lainnya seperti China dan Brazil.
Menurut Khoirul, agenda-agenda yang disebar melalui berbagai macam cara ini, khususnya di media sosial, mengancam kedaulatan Indonesia. Kretek, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari nusantara, kini terancam oleh intervensi LSM asing yang dianggap sebagai bentuk baru penjajahan.
Tak hanya itu, kebijakan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dianggap memasukkan agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) secara tidak langsung.
FCTC adalah konvensi internasional yang digunakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memengaruhi kebijakan domestik negara-negara di seluruh dunia. Kekinian, WHO sedang berada di bawah sorotan terkait kredibilitas dan independensinya, terutama setelah keluarnya Amerika Serikat sebagai donor terbesarnya, diikuti negara lain seperti Argentina.
Indonesia tidak meratifikasi FCTC, namun kebijakan seperti wacana kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Permenkes menunjukkan bahwa LSM-LSM yang mengatasnamakan kesehatan ini terus mendorong poin-poin pada FCTC untuk diadopsi dalam bentuk regulasi.
"Presiden Prabowo bicara kedaulatan, tapi kebijakan seperti PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes justru mengancam industri tembakau nasional," imbuh Khoirul.
Baca Juga: 241 Pekerja SKT Sampoerna Dapat BLT Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil, industri tembakau nasional berpotensi menjadi penyelamat. Kontribusi industri tembakau nasional mencapai 4,22% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2024 mencapai Rp216,9 triliun.
Selain dampak ekonomi, agenda lembaga asing ini juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Petani tembakau, buruh pabrik, warung kecil, dan jutaan pekerja bergantung pada industri tembakau yang telah berjalan ratusan tahun. Khoirul mendesak pemerintah untuk menghentikan intervensi lembaga asing dalam kebijakan nasional.
Menurutnya, Indonesia merupakan negara berdaulat sehingga harus memutuskan sebuah kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya sendiri, tidak mengikuti atau merujuk pihak lain. "Pemerintah harus berpikir adil, jangan mau disetir oleh asing dengan mengamini segala hal yang disampaikan oleh asing," tegasnya.
Khoirul mendorong pemerintah untuk memastikan keberlangsungan sektor industri tembakau nasional dan ekosistemnya, yang menyerap banyak tenaga kerja dari hulu hingga hilir. Diperkirakan ada sekitar 6 juta orang yang bergantung pada industri tembakau nasional.
Diduga Diam-diam Bikin Aturan
Pemerintah diduga tengah merancang Peraturan Presiden (Perpres) yang akan mengatur lebih detail pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Hal ini setelah, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes RI, Benget Saragih, mengungkapkan bahwa Kemenkes sedang menyiapkan draft peraturan baru selain Rancangan Permenkes, yaitu Rancangan Perpres.
Dalam rancangan Perpres lebih mendetailkan cara Kementerian Perdagangan mengawasi pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
"Untuk itu kita membutuhkan aturan turunan. Kemenkes sedang menyiapkan Perpres yang diharmonisasi dengan K/L. Jadi nanti Kementerian Perdagangan mengatur tentang penjualan 200 meter, artinya harus ada mekanismenya," ujar Benget beberapa waktu lalu, seperti
Rancangan Perpres ini disinyalir akan menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang sebelumnya telah mengatur zonasi penjualan dan iklan produk tembakau.
Namun, kehadiran Rancangan Perpres ini justru menimbulkan kekhawatiran baru, terutama bagi sektor ritel yang sudah tertekan dengan aturan zonasi dan wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo), Anang Zunaedi, menyatakan bahwa Rancangan Perpres ini berpotensi memberatkan pelaku usaha.
"Banyak toko yang sudah berdiri sebelum adanya fasilitas pendidikan atau tempat bermain. Kalau dipaksakan, ini akan sangat memberatkan," beber dia.
Anang juga mengkhawatirkan dampak ekonomi yang lebih luas. Pasalnya, penjualan rokok menyumbang sekitar 40 persen omzet pelaku UMKM. Jika dilarang, kebijakan ini bisa mematikan usaha kecil. Ia menilai kebijakan ini tidak adil dan rancu dalam penerapannya.
Sementara itu, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun Atmo, menyatakan bahwa dirinya belum mendengar tentang Rancangan Perpres tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan ini tidak perlu diterapkan.
"PP 28/2024 saja sudah kontroversial dan banyak ditentang. Apalagi jika ada Perpres baru, ini pasti akan menimbulkan polemik lebih besar," jelas dia.